TUL[!]S

tulis saja, walau sedikit, apa saja..

Selasa, 02 Juli 2013

Kebutuhan Mendesak dan Solusi Jangka Panjang BBM

Sumber: http://whatindonews.com

Entah siapa yang paling benar, polemik kenaikan harga BBM bersubsidi meninggalkan adu argumen di antara kedua belah pihak yang saling bertarung logika: koalisi pemerintah versus oposisi. Keduanya sama-sama mengaku sebagai pembela masyarakat, sama-sama menuangkan kalimat “demi rakyat” agar simpati tak melayang. Bau-bau politik kian menyengat sepekat aroma bensin, mengingat isu sentral ini meluncur ketika umat Indonesia serempak menghitung mundur atas helatan Pemilu di tahun 2014 nanti.

Tapi, sudahlah, toh pemerintah juga telah ketok palu, bahwa BBM jadi naik. Harga premium digenjot menjadi Rp. 6.500 per liter, sedang solar menjadi Rp. 5.500. Konon, harga BBM ini terpaksa dinaikkan karena subsidi pemerintah terhadap BBM yang tidak tepat sasaran. Tingkat konsumsi masyarakat miskin terhadap penggunaan BBM jauh berada di bawah orang-orang kaya. Intinya, keringanan biaya seliter premium atau solar justru lebih sering digunakan oleh mereka yang sejahtera.

Permasalahan baru kemudian muncul. Kenaikan harga BBM mampu membangunkan harga-harga berbagai komoditas untuk ikut naik. Lebih-lebih pelaksanaan tarif baru BBM tersebut disahkan menjelang bulan puasa dan tak lama sebelum tahun ajaran baru dimulai. Agar dapur tetap ngepul, maka subsidi BBM yang urung digunakan tadi dialokasikan ke dalam berbagai jenis kompensasi melalui Program Percepatan dan Perluasan Perlindungan Sosial (P4S). Tentunya, program ini juga ditujukan kepada rumah tangga berstatus sosial ekonomi rendah. Rakyat kenyang, pemerintah senang.

Tapi mau sampai kapan hal yang demikian diberlakukan? BBM merupakan salah satu sumber daya alam yang tak dapat diperbarui. Keberadaannya semakin lama akan semakin berkurang. Bukan tidak mungkin, di suatu saat nanti alasan pemerintah menaikkan harga BBM tidak lagi karena permasalahan subsidi yang tidak tepat sasaran, tapi lebih kepada permasalahan ketersediaan BBM yang semakin hari pasti akan semakin berkurang. Produksi terus menurun, sementara kenaikan jumlah konsumsi semakin tak terbendung, akibatnya harga BBM dengan amat mudah melambung tinggi.

Boleh jadi BLSM diciptakan pemerintah sebagai jawaban atas kenaikan harga BBM. Tapi itu sifatnya hanya sementara, yang diganjar hanya dengan Rp. 150.000 per rumah tangga sasaran dengan durasi lima bulan. Setelah lima bulan, apa mereka-mereka yang berhak ini akan tetap “disuapi”?

Betul memang, masih ada model kompensasi lainnya. Tapi semuanya seragam, sifatnya hanya bantuan, tak tahan lama. Peluh pemerintah dalam mengakali akan hadirnya berbagai bantuan seperti tak diimbangi dengan usaha pemerintah dalam mencari jalan keluar yang bersifat pencegahan. Langkah preventif pemerintah seakan kalah pamor–atau malah memang tidak ada–bila dibandingkan dengan gerakan sosialisasi pemerintah atas berbagai macam program kompensasi akibat kenaikan BBM.

Bisa saja, sebagian alokasi pemotongan subsidi tadi direlokasikan kepada penelitian tentang sumber daya alternatif pengganti BBM. Sehingga, walau di masa depan nanti Indonesia benar-benar nyata terkena krisis BBM, kita sudah siap sedia dengan penemuan-penemuan terbaru yang bersifat substitusi. Walaupun harga BBM membumbung tinggi sekalipun, dampak yang dirasakan nanti tak akan terlalu signifikan. Atau pemerintah dengan dana subsidi tadi bisa lebih concern menciptakan program-program yang mampu mengurangi ketergantungan atau bahkan menekan lajunya kebutuhan masyarakat akan BBM. Hal ini bisa didukung melalui produksi massal kendaraan-kendaraan yang menggunakan bahan bakar listrik. Selama ini, kehadiran mobil atau sepeda motor listrik di tanah air hanya menggaung sepintas waktu. Kalau pemerintah mau serius, ini bisa menjadi sebuah langkah dinamis bagi kebaikan bangsa. Selanjutnya, untuk menekan daya konsumsi BBM, pemerintah perlu mengetatkan jumlah produksi kendaraan bermotor berbahan bakar minyak, serta sebaliknya meningkatkan kualitas maupun kuantitas moda transportasi darat di Indonesia. Dengan begitu, minat masyarakat untuk menggunakan kendaraan umum akan semakin meninggi. Seiring dengan hal tersebut, pelan namun pasti, populasi kendaraan pribadi di jalan raya akan berkurang dominasinya, sehingga secara tak langsung penggunaan BBM juga akan cenderung kian menurun.

Sebenarnya, kalau pemerintah mau membagi fokusnya antara kebutuhan mendesak dengan solusi jangka panjang, pasti akan membawa faedah yang lebih baik. Tindakan pencegahan tetap jauh lebih berdaya guna daripada melatih segelintir orang untuk terus nyaman di zona sosial ekonomi rendahnya.


Salam.
Read More

Rabu, 27 Maret 2013

Dari Sendanu Darul Ihsan, untuk Sebuah Pengalaman yang Berharga


Kata orang, hidup di Riau itu enak. Negerinya kaya raya. Ladang sawit dimana-mana, minyak bumi pun tak henti-hentinya memata-air. Kalau orang-orang kampung bilang, Riau ini penuh sesak dengan minyak: di atas minyak (kelapa sawit), di bawah minyak (minyak bumi). Belum lagi “harta” yang diperoleh dari berbagai sumber lainnya semacam pertanian (tercakup juga di dalamnya perkebunan, peternakan dan perikanan). Mungkin, hal ini yang turut menjadikan Riau sebagai salah satu provinsi penghasil Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) terbesar se-Indonesia. Kalau kita mau lebih perdalam lagi bahasannya ke beberapa indikator seperti Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Kemiskinan dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), tampaknya Riau juga masih cukup lebih baik bila dibandingkan dengan banyak provinsi lainnya.

Daaan, entah karena pertimbangan ini pula Riau menjadi salah satu pilihan penempatan favorit para lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS). Mungkin mereka beranggapan bahwa dengan baiknya segi perekonomian yang dimiliki oleh suatu daerah, maka semakin ideal pula untuk dijadikan sebagai daerah perantauan. Ideal disini dapat mengakomodir beberapa kriteria berikut: pembangunan di berbagai bidang yang menduduki level di atas rata-rata, masyarakat yang maju dan modern, dan lain-lain. Tidak hanya faktor perekonomian yang dapat menjadi daya magnet bagi pendatang baru di Riau. Dari segi geografis, letak Riau juga sangat strategis (berada di bagian tengah Pulau Sumatera) dan memiliki kontur alam yang sangat “bersahabat”. Letaknya yang berada di wilayah non pegunungan (dataran rendah), praktis hanya terteror bencana yang berpeluang tercipta oleh gelombang lautan di daerah pesisir, mulai dari Kabupaten Rokan Hilir-Kota Dumai-Kabupaten Bengkalis-Kabupaten Kepulauan Meranti-hingga ke Kabupaten Indragiri Hilir. Dan kesemua daerah itu pun menghadap ke laut bagian dalam (ke arah timur), yang konon tak seganas laut barat maupun laut selatan.

Secara pribadi saya menilai, memang tepat sekali bila Riau dijadikan sebagai wilayah idaman bagi para perantau. Namun, di balik keunggulan yang dimiliki oleh Riau itu, ternyata belum semua “etalase” yang memamerkan kemeriahan pembangunan di berbagai bidang. Salah satu “etalase” itu ialah Desa Sendanu Darul Ihsan, Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti.

--

Tanggal 14 Maret yang lalu saya sempat berkunjung ke Desa Sendanu Darul Ihsan, salah satu desa yang berada di wilayah Kecamatan Tebing Tinggi Timur. Letaknya kurang lebih satu setengah jam perjalanan dari Selatpanjang, ibukota Kabupaten Kepulauan Meranti. Kunjungan tersebut dilakukan dalam rangka pencacahan lapangan Susenas untuk triwulan pertama. Targetnya, di satu hari kunjungan tersebut, kami satu tim (saya dan dua orang mitra) berhasil mencacah sepuluh rumah tangga sampel. Mengingat cost yang minim, dan memang pada dasarnya kami tidak nyaman untuk bermalam di desa orang, pekerjaan hari itu kami tekadkan untuk selesai di hari itu juga.

Perjalanan kesana hanya bisa ditempuh lewat air. Ironinya, Desa Sendanu Darul Ihsan ini letaknya berada di pulau yang sama dengan Selatpanjang, yakni Pulau Tebing Tinggi. Untuk menuju ke daerah Kecamatan Tebing Tinggi Timur, akses darat yang tersambung hanya mencapai Desa Sungai Tohor, itupun jalan yang mesti dilalui kondisinya amburadul. Untuk menuju ke Desa Sendanu Darul Ihsan ini, kami menumpang speed boat Era Mandiri. Sejatinya, kapal ini berute Selatpanjang-Tanjung Balai Karimun-Batam. Namun kapal juga bisa di-request untuk berhenti di sepanjang daerah perairan yang dilalui, bila kita ingin turun di daerah tersebut. Tapi jangan harap kapal ini akan menurunkan kita ke tepian! Kapal hanya akan bersandar untuk menaik-turunkan penumpang di pelabuhan-pelabuhan tertentu saja. Untuk kasus perjalanan ke Desa Sendanu Darul Ihsan ini, kami meminta kapal untuk berhenti di lepas pantai Desa Nipah Sendanu (akses darat terdekat untuk menuju Desa Sendanu Darul Ihsan). Nah, di tengah laut barulah kami berganti ke kapal pompong (sejenis kapal kayu yang memiliki panjang sekitar lima hingga delapan meter, bermesin tunggal biasanya). Begitu pintu speed boat dibuka, sudah ada kapal pompong yang merapat ke badan speed boat. Dengan sedikit ayunan kaki, kita harus melompat ke atap kapal pompong! Ajiiib! Nasib kami itu bahkan lebih baik. Bahkan ada seorang ibu-ibu yang turun di tengah laut, namun ia berganti ke sebuah sampan bermotor. Haduh, naik sampan di tengah laut, nggak kebayang deh! Saya jadi teringat dengan pasar terapung yang ada di Kalimantan sana. Bedanya, yang dioper-oper di tengah-tengah perairan mungkin cuma sayur dan kawan-kawan, tapi ini manusia. Hehehe.. Oh ya, untuk bisa dijemput oleh kapal pompong ini, sebelumnya kita harus bikin janji terlebih dahulu dengan si pemilik kapal.

Dua orang mitra, Bang Ucok dan Bang Ujang


Bagian geladak depan kapal pompong



Dari pelabuhan kecil di Desa Nipah Sendanu, perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan sepeda motor. Sebenarnya, Desa Sendanu Darul Ihsan ini merupakan wilayah pemekaran dari desa induknya, Desa Nipah Sendanu. Makanya, jarak kedua desa ini tidak terlalu jauh. Waktu itu kami menempuh perjalanan kurang lebih setengah jam, dengan catatan kondisi jalanan pada saat itu tidak begitu baik. Jalan-jalan desa yang terbentang tidak terbuat dari aspal, melainkan dari semen yang diratakan. Karenanya, jalanan menjadi tidak awet, sehingga banyak terdapat lubang dimana-mana. Belum lagi kondisi yang diperparah dengan adanya musim kemarau, sehingga jalanan yang rusak menerbangkan debu kemana-mana. Dengan kondisi jalanan yang seperti itu, praktis kendaraan bermotor yang dimiliki warga menjadi cepat rusak, terutama pada bagian shock breaker­-nya. Bisa dibayangkan, melewati jalanan desa yang cukup banyak lubangnya dan debu bertebaran dimana-mana dengan menumpangi sepeda motor yang shock breaker-nya nyaris tidak membal sama sekali, cukup membuat pantat saya menjadi kebas dan muka menghitam mirip Dakocan! Hahaha..

Dan pada akhirnya, setelah melewati medan yang cukup edan, sekitar pukul sembilan kurang sepuluh menit, tim sampai di wilayah Desa Sendanu Darul Ihsan. Di sebuah persimpangan jalan, tim berpencar menuju rumah tangga-rumah tangga sampel yang telah ditentukan sebelumnya. Setiap satu orang bertanggungjawab atas sekian rumah tangga sampel.

Menurut informasi yang saya peroleh dari si penunjuk jalan, di Desa Sendanu Darul Ihsan sendiri terdapat kurang lebih tiga ratus kepala keluarga. Mayoritas penduduk bersuku melayu. Saya yang kurang begitu fasih bercakap melayu terpaksa kadang-kadang harus mengernyitkan dahi bila si responden mengeluarkan kata-kata yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Kadang saya menjadi malu sendiri, lahir dan besar di Bumi Melayu, tapi malah lebih mahir berlogat Minang. Hihi..

Seharian berkeliling di Desa Sendanu Darul Ihsan, membuat saya sedikit tahu mengenai gambaran desa ini. Kebanyakan penduduk bekerja di sektor perkebunan, umumnya terkonsentrasi pada jenis kelapa dan karet. Karenanya, desa ini menjadi begitu teduh. Pokok kelapa tumbuh dimana-mana, sedangkan untuk karet, areal perkebunannya berada agak jauh dari pemukiman penduduk.

Suasana Desa Sendanu Darul Ihsan



Untuk kondisi sumber air, memang menjadi persoalan yang merata di berbagai daerah di Kabupaten Kepulauan Meranti, tak terkecuali di desa ini. Untuk keperluan MCK (mandi, cuci, kakus), penduduk lokal mengandalkan sumur yang warna airnya bisa dikatakan kemerah-merahan. Menurut pengakuan beberapa orang yang pernah saya tanyai, justru “air merah” ini yang paling bagus digunakan untuk mandi. Konon, mandi dengan menggunakan air ini badan akan terasa lebih segar.

Contoh penampakan "air merah"



Menjelang salat zuhur, kami semua kembali bertemu di lokasi yang telah ditentukan, dengan masing-masing membawa hasil pencacahannya. Sehabis menunaikan ibadah salat zuhur dan makan siang, kami sudah stand by di pelabuhan Desa Nipah Sendanu guna menunggu kapal yang akan membawa kami balik ke Selatpanjang. Nah, ketika sedang menunggu itulah perut saya tiba-tiba berulah. Hasrat untuk segera menunaikan “hajat” tidak lagi dapat dibendung. Akhirnya, dengan meminjam sepeda motor seorang ibu-ibu pemilik warung, saya pun langsung tancap gas menuju rumah warga terdekat. Hop! Dan saya pun mendapat mangsa, saudara-saudara! Seorang ibu-ibu tua sedang duduk-duduk manis di depan rumah panggungnya. Dengan gaya yang sok kenal, saya pun menghampiri ibu tersebut. Tanpa basa-basi lagi, akhirnya saya mengutarakan niat saya. Mungkin, karena pada dasarnya saya ganteng, walau saya bertamu hanya untuk meminjam toiletnya saja, si ibu tadi tetap sumringah. Hahaha..

Jangan harap, toilet di desa sama baiknya dengan yang ada di kota. Khusus tempat untuk BAB-nya, bangunannya berada terpisah dengan bangunan rumah. Jadi kita harus mengangkut air terlebih dahulu dari sumur menuju “liang eksekusi”. Hahaha.. Di dalam toilet pun juga tidak terpasang lampu. Jadi, ketika kita sedang melaksanakan “ritual”, ya harus bisa mengandalkan naluri: naluri melorotin celana, naluri memasang kuda-kuda ketika hendak melakukan posisi jongkok, naluri nyebok yang apakah sudah dibasuh sampai bersih atau belum. Sensasi bok*r di kegelapan siang bolong memang cukup memacu adrenalin saya sepertinya. Hiii..

Setelah perut entengan, saya bergegas kembali ke pelabuhan Nipah Sendanu karena khawatir tertinggal kapal satu-satunya yang menuju ke Selatpanjang. Dengan cara dan kapal yang sama dengan yang tadi pagi, sekitar pukul setengah tiga, kami kembali menuju Selatpanjang. Fiuh!

Suasana sore di Pelabuhan Nipah Sendanu

Menuju ke lepas pantai menumpang kapal pompong

Speed boat mendekat ke kapal pompong


Seorang penumpang yang naik dari tengah laut

--

Ketahuilah, tidak semua wilayah di luar Pulau Jawa itu baik lagi maju sama rata. Tidak! Walau di provinsi yang bisa dikatakan sejahtera sekalipun. Tapi hikmahnya, ketika kita pernah mengabdi di daerah-daerah “sulit”, rasa bersyukur yang kita miliki menjadi lebih mengakartanah.

Salam.
Read More

© TUL[!]S, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena