Kata
orang, hidup di Riau itu enak. Negerinya kaya raya. Ladang sawit dimana-mana,
minyak bumi pun tak henti-hentinya memata-air. Kalau orang-orang kampung
bilang, Riau ini penuh sesak dengan minyak: di atas minyak (kelapa sawit), di
bawah minyak (minyak bumi). Belum lagi “harta” yang diperoleh dari berbagai
sumber lainnya semacam pertanian (tercakup juga di dalamnya perkebunan,
peternakan dan perikanan). Mungkin, hal ini yang turut menjadikan Riau sebagai
salah satu provinsi penghasil Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
terbesar se-Indonesia. Kalau kita mau lebih perdalam lagi bahasannya ke
beberapa indikator seperti Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Kemiskinan dan Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB), tampaknya Riau juga masih cukup lebih baik bila
dibandingkan dengan banyak provinsi lainnya.
Daaan,
entah karena pertimbangan ini pula Riau menjadi salah satu pilihan penempatan
favorit para lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS). Mungkin mereka
beranggapan bahwa dengan baiknya segi perekonomian yang dimiliki oleh suatu
daerah, maka semakin ideal pula untuk dijadikan sebagai daerah perantauan.
Ideal disini dapat mengakomodir beberapa kriteria berikut: pembangunan di
berbagai bidang yang menduduki level di atas rata-rata, masyarakat yang maju dan
modern, dan lain-lain. Tidak hanya faktor perekonomian yang dapat menjadi daya
magnet bagi pendatang baru di Riau. Dari segi geografis, letak Riau juga sangat
strategis (berada di bagian tengah Pulau Sumatera) dan memiliki kontur alam
yang sangat “bersahabat”. Letaknya yang berada di wilayah non pegunungan
(dataran rendah), praktis hanya terteror bencana yang berpeluang tercipta oleh
gelombang lautan di daerah pesisir, mulai dari Kabupaten Rokan Hilir-Kota
Dumai-Kabupaten Bengkalis-Kabupaten Kepulauan Meranti-hingga ke Kabupaten
Indragiri Hilir. Dan kesemua daerah itu pun menghadap ke laut bagian dalam (ke
arah timur), yang konon tak seganas laut barat maupun laut selatan.
Secara
pribadi saya menilai, memang tepat sekali bila Riau dijadikan sebagai wilayah
idaman bagi para perantau. Namun, di balik keunggulan yang dimiliki oleh Riau
itu, ternyata belum semua “etalase” yang memamerkan kemeriahan pembangunan di
berbagai bidang. Salah satu “etalase” itu ialah Desa Sendanu Darul Ihsan,
Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti.
--
Tanggal
14 Maret yang lalu saya sempat berkunjung ke Desa Sendanu Darul Ihsan, salah satu desa
yang berada di wilayah Kecamatan
Tebing Tinggi Timur. Letaknya kurang lebih satu setengah jam perjalanan dari
Selatpanjang, ibukota Kabupaten
Kepulauan Meranti. Kunjungan tersebut dilakukan dalam rangka pencacahan
lapangan Susenas untuk triwulan pertama. Targetnya, di satu hari kunjungan
tersebut, kami satu tim (saya dan dua orang mitra) berhasil mencacah sepuluh
rumah tangga sampel. Mengingat cost
yang minim, dan memang pada dasarnya kami tidak nyaman untuk bermalam di desa
orang, pekerjaan hari itu kami tekadkan untuk selesai di hari itu juga.
Perjalanan
kesana hanya bisa ditempuh lewat air. Ironinya, Desa Sendanu Darul Ihsan ini
letaknya berada di pulau yang sama dengan Selatpanjang, yakni Pulau
Tebing Tinggi. Untuk
menuju ke daerah Kecamatan Tebing Tinggi Timur, akses darat yang tersambung
hanya mencapai Desa Sungai Tohor, itupun jalan yang mesti dilalui kondisinya
amburadul. Untuk menuju ke Desa Sendanu Darul Ihsan ini, kami menumpang speed boat Era Mandiri. Sejatinya, kapal
ini berute Selatpanjang-Tanjung Balai Karimun-Batam. Namun kapal juga bisa di-request untuk berhenti di sepanjang daerah
perairan yang dilalui, bila kita ingin turun di daerah tersebut. Tapi jangan
harap kapal ini akan menurunkan kita ke tepian! Kapal hanya akan bersandar
untuk menaik-turunkan penumpang di pelabuhan-pelabuhan tertentu saja. Untuk
kasus perjalanan ke Desa Sendanu Darul Ihsan ini, kami meminta kapal untuk berhenti
di lepas pantai Desa Nipah Sendanu (akses darat terdekat untuk menuju Desa
Sendanu Darul Ihsan). Nah, di tengah laut barulah kami berganti ke kapal pompong (sejenis kapal kayu yang
memiliki panjang sekitar lima hingga delapan meter, bermesin tunggal biasanya).
Begitu pintu speed boat dibuka, sudah
ada kapal pompong yang merapat ke
badan speed boat. Dengan sedikit
ayunan kaki, kita harus melompat ke atap kapal pompong! Ajiiib! Nasib kami itu bahkan lebih baik. Bahkan ada seorang ibu-ibu yang turun di tengah
laut, namun ia berganti ke sebuah sampan bermotor. Haduh, naik sampan di tengah laut, nggak kebayang deh! Saya jadi teringat dengan pasar terapung yang
ada di Kalimantan sana. Bedanya, yang dioper-oper di tengah-tengah perairan
mungkin cuma sayur dan kawan-kawan, tapi ini manusia. Hehehe.. Oh ya, untuk
bisa dijemput oleh kapal pompong ini,
sebelumnya kita harus bikin janji terlebih dahulu dengan si pemilik kapal.
Dua orang mitra, Bang Ucok dan Bang Ujang
Bagian geladak depan kapal pompong
Dari
pelabuhan kecil di Desa Nipah Sendanu, perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan
sepeda motor. Sebenarnya, Desa Sendanu Darul Ihsan ini merupakan wilayah
pemekaran dari desa induknya, Desa Nipah Sendanu. Makanya, jarak kedua desa ini
tidak terlalu jauh. Waktu itu kami menempuh perjalanan kurang lebih setengah
jam, dengan catatan kondisi jalanan pada saat itu tidak begitu baik. Jalan-jalan desa yang
terbentang tidak terbuat dari aspal, melainkan dari semen yang diratakan.
Karenanya, jalanan menjadi tidak awet, sehingga banyak terdapat lubang
dimana-mana. Belum lagi kondisi yang diperparah dengan adanya musim kemarau,
sehingga jalanan yang rusak menerbangkan debu kemana-mana. Dengan kondisi
jalanan yang seperti itu, praktis kendaraan bermotor yang dimiliki warga
menjadi cepat rusak, terutama pada bagian shock
breaker-nya. Bisa dibayangkan, melewati jalanan desa yang cukup banyak
lubangnya dan debu bertebaran
dimana-mana dengan
menumpangi sepeda motor yang shock
breaker-nya nyaris tidak membal sama sekali, cukup membuat pantat saya
menjadi kebas dan muka menghitam mirip Dakocan! Hahaha..
Dan
pada akhirnya, setelah melewati medan yang cukup edan, sekitar pukul sembilan kurang sepuluh menit, tim sampai di
wilayah Desa Sendanu Darul Ihsan. Di sebuah persimpangan jalan, tim berpencar
menuju rumah tangga-rumah tangga sampel yang telah ditentukan sebelumnya. Setiap
satu orang bertanggungjawab atas sekian rumah tangga sampel.
Menurut
informasi yang saya peroleh dari si penunjuk jalan, di Desa Sendanu Darul Ihsan
sendiri terdapat kurang lebih tiga ratus kepala keluarga. Mayoritas penduduk
bersuku melayu. Saya yang kurang begitu fasih bercakap melayu terpaksa
kadang-kadang harus mengernyitkan dahi bila si responden mengeluarkan kata-kata
yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Kadang saya menjadi malu sendiri,
lahir dan besar di Bumi Melayu, tapi malah lebih mahir berlogat Minang. Hihi..
Seharian
berkeliling di Desa Sendanu Darul Ihsan, membuat saya sedikit tahu mengenai
gambaran desa ini. Kebanyakan penduduk bekerja di sektor perkebunan, umumnya
terkonsentrasi pada jenis kelapa dan karet. Karenanya, desa ini menjadi begitu
teduh. Pokok kelapa tumbuh dimana-mana, sedangkan untuk karet, areal
perkebunannya berada agak jauh dari pemukiman penduduk.
Suasana Desa Sendanu Darul Ihsan
Untuk
kondisi sumber air, memang menjadi persoalan yang merata di berbagai daerah di
Kabupaten Kepulauan Meranti, tak terkecuali di desa ini. Untuk keperluan MCK
(mandi, cuci, kakus), penduduk lokal mengandalkan sumur yang warna airnya bisa
dikatakan kemerah-merahan. Menurut pengakuan beberapa orang yang pernah saya
tanyai, justru “air merah” ini yang paling bagus digunakan untuk mandi. Konon,
mandi dengan menggunakan air ini badan akan terasa lebih segar.
Contoh penampakan "air merah"
Menjelang
salat zuhur, kami semua kembali bertemu di lokasi yang telah ditentukan, dengan
masing-masing membawa hasil pencacahannya. Sehabis menunaikan ibadah salat
zuhur dan makan siang, kami sudah stand
by di pelabuhan Desa Nipah Sendanu guna menunggu kapal yang akan membawa
kami balik ke Selatpanjang. Nah, ketika sedang menunggu itulah perut saya
tiba-tiba berulah. Hasrat untuk segera menunaikan “hajat” tidak lagi dapat
dibendung. Akhirnya, dengan meminjam sepeda motor seorang ibu-ibu pemilik
warung, saya pun langsung tancap gas menuju rumah warga terdekat. Hop! Dan saya
pun mendapat mangsa, saudara-saudara! Seorang ibu-ibu tua sedang duduk-duduk
manis di depan rumah panggungnya. Dengan gaya yang sok kenal, saya pun
menghampiri ibu tersebut. Tanpa basa-basi lagi, akhirnya saya mengutarakan niat
saya. Mungkin, karena pada dasarnya saya ganteng, walau saya bertamu hanya
untuk meminjam toiletnya saja, si ibu tadi tetap sumringah. Hahaha..
Jangan
harap, toilet di desa sama baiknya dengan yang ada di kota. Khusus tempat
untuk BAB-nya, bangunannya berada terpisah dengan bangunan rumah. Jadi kita
harus mengangkut air terlebih dahulu dari sumur menuju “liang eksekusi”.
Hahaha.. Di dalam toilet pun juga tidak terpasang lampu. Jadi, ketika kita sedang
melaksanakan “ritual”, ya harus bisa mengandalkan naluri: naluri melorotin
celana, naluri memasang kuda-kuda ketika hendak melakukan posisi jongkok,
naluri nyebok yang apakah sudah
dibasuh sampai bersih atau belum. Sensasi bok*r
di kegelapan siang bolong memang cukup memacu adrenalin saya sepertinya. Hiii..
Setelah
perut entengan, saya bergegas kembali ke pelabuhan Nipah Sendanu karena
khawatir tertinggal kapal satu-satunya yang menuju ke Selatpanjang. Dengan cara
dan kapal yang sama dengan yang tadi pagi, sekitar pukul setengah tiga, kami
kembali menuju Selatpanjang. Fiuh!
Suasana sore di Pelabuhan Nipah Sendanu
Menuju ke lepas pantai menumpang kapal pompong
Speed boat mendekat ke kapal pompong
Seorang penumpang yang naik dari tengah laut
--
Ketahuilah,
tidak semua wilayah di luar Pulau Jawa itu baik lagi maju sama rata. Tidak!
Walau di provinsi yang bisa dikatakan sejahtera sekalipun. Tapi hikmahnya,
ketika kita pernah mengabdi di daerah-daerah “sulit”, rasa bersyukur yang kita
miliki menjadi lebih mengakartanah.
Salam.