Sumber: http://whatindonews.com |
Entah siapa
yang paling benar, polemik kenaikan harga BBM bersubsidi meninggalkan adu
argumen di antara kedua belah pihak yang saling bertarung logika: koalisi
pemerintah versus oposisi. Keduanya sama-sama mengaku sebagai pembela
masyarakat, sama-sama menuangkan kalimat “demi rakyat” agar simpati tak
melayang. Bau-bau politik kian menyengat sepekat aroma bensin, mengingat isu
sentral ini meluncur ketika umat Indonesia serempak menghitung mundur atas
helatan Pemilu di tahun 2014 nanti.
Tapi,
sudahlah, toh pemerintah juga telah ketok palu, bahwa BBM jadi naik. Harga
premium digenjot menjadi Rp. 6.500 per liter, sedang solar menjadi Rp. 5.500.
Konon, harga BBM ini terpaksa dinaikkan karena subsidi pemerintah terhadap BBM
yang tidak tepat sasaran. Tingkat konsumsi masyarakat miskin terhadap
penggunaan BBM jauh berada di bawah orang-orang kaya. Intinya, keringanan biaya
seliter premium atau solar justru lebih sering digunakan oleh mereka yang
sejahtera.
Permasalahan
baru kemudian muncul. Kenaikan harga BBM mampu membangunkan harga-harga
berbagai komoditas untuk ikut naik. Lebih-lebih pelaksanaan tarif baru BBM
tersebut disahkan menjelang bulan puasa dan tak lama sebelum tahun ajaran baru
dimulai. Agar dapur tetap ngepul, maka
subsidi BBM yang urung digunakan tadi dialokasikan ke dalam berbagai jenis
kompensasi melalui Program Percepatan dan Perluasan Perlindungan Sosial (P4S).
Tentunya, program ini juga ditujukan kepada rumah tangga berstatus sosial
ekonomi rendah. Rakyat kenyang, pemerintah senang.
Tapi mau
sampai kapan hal yang demikian diberlakukan? BBM merupakan salah satu sumber
daya alam yang tak dapat diperbarui. Keberadaannya semakin lama akan semakin
berkurang. Bukan tidak mungkin, di suatu saat nanti alasan pemerintah menaikkan
harga BBM tidak lagi karena permasalahan subsidi yang tidak tepat sasaran, tapi
lebih kepada permasalahan ketersediaan BBM yang semakin hari pasti akan semakin
berkurang. Produksi terus menurun, sementara kenaikan jumlah konsumsi semakin
tak terbendung, akibatnya harga BBM dengan amat mudah melambung tinggi.
Boleh jadi
BLSM diciptakan pemerintah sebagai jawaban atas kenaikan harga BBM. Tapi itu
sifatnya hanya sementara, yang diganjar hanya dengan Rp. 150.000 per rumah
tangga sasaran dengan durasi lima bulan. Setelah lima bulan, apa mereka-mereka
yang berhak ini akan tetap “disuapi”?
Betul
memang, masih ada model kompensasi lainnya. Tapi semuanya seragam, sifatnya
hanya bantuan, tak tahan lama. Peluh pemerintah dalam mengakali akan hadirnya
berbagai bantuan seperti tak diimbangi dengan usaha pemerintah dalam mencari
jalan keluar yang bersifat pencegahan. Langkah preventif pemerintah seakan
kalah pamor–atau malah memang tidak ada–bila dibandingkan dengan gerakan
sosialisasi pemerintah atas berbagai macam program kompensasi akibat kenaikan
BBM.
Bisa saja, sebagian
alokasi pemotongan subsidi tadi direlokasikan kepada penelitian tentang sumber
daya alternatif pengganti BBM. Sehingga, walau di masa depan nanti Indonesia
benar-benar nyata terkena krisis BBM, kita sudah siap sedia dengan penemuan-penemuan
terbaru yang bersifat substitusi. Walaupun harga BBM membumbung tinggi
sekalipun, dampak yang dirasakan nanti tak akan terlalu signifikan. Atau
pemerintah dengan dana subsidi tadi bisa lebih concern menciptakan program-program yang mampu mengurangi ketergantungan
atau bahkan menekan lajunya kebutuhan masyarakat akan BBM. Hal ini bisa
didukung melalui produksi massal kendaraan-kendaraan yang menggunakan bahan
bakar listrik. Selama ini, kehadiran mobil atau sepeda motor listrik di tanah
air hanya menggaung sepintas waktu. Kalau pemerintah mau serius, ini bisa
menjadi sebuah langkah dinamis bagi kebaikan bangsa. Selanjutnya, untuk menekan
daya konsumsi BBM, pemerintah perlu mengetatkan jumlah produksi kendaraan
bermotor berbahan bakar minyak, serta sebaliknya meningkatkan kualitas maupun
kuantitas moda transportasi darat di Indonesia. Dengan begitu, minat masyarakat
untuk menggunakan kendaraan umum akan semakin meninggi. Seiring dengan hal
tersebut, pelan namun pasti, populasi kendaraan pribadi di jalan raya akan
berkurang dominasinya, sehingga secara tak langsung penggunaan BBM juga akan
cenderung kian menurun.
Sebenarnya,
kalau pemerintah mau membagi fokusnya antara kebutuhan mendesak dengan solusi
jangka panjang, pasti akan membawa faedah yang lebih baik. Tindakan pencegahan
tetap jauh lebih berdaya guna daripada melatih segelintir orang untuk terus
nyaman di zona sosial ekonomi rendahnya.
0 komentar:
Posting Komentar