tulis saja, walau sedikit, apa saja..

Minggu, 14 November 2010

Berkisah Pada Bumi Sriwijaya

Gerimis di malam 15 Februari 2010. Dengan berlari kecil lalu dari kejauhan tampak belasan bus berjejer di depan kampus. Semuanya dengan berbagai corak warna namun seragam pada satu kata, Pahala Kencana.

“Disana jangan lupa shalat”, kurang lebih itu kalimat terakhir dari seberang telefon oleh ibuku. Dan sesaat kemudian aku telah berada di Pelabuhan Merak, Propinsi Banten.

Agak sedikit menunggu, namun perlahan subuhpun menyambut rombongan angkatan 49 di Sumatera. Tanah pertama yang dilalui ialah Propinsi Lampung. Jalan yang dilaluipun kini agaknya berbahaya untuk saling mendahului. Namun sebaiknya aku tidur saja disisa perjalanan ini. Selimut dan bantal menjadi hal yang paling setia pada saat itu.

--

AMPERA, itu tulisan yang tertera pada jembatan nan megah di depanku ini. Puji syukur kepada Allah SWT yang masih memberikan nikmat kesehatan padaku pada saat itu. Teringat sejumlah rencana bila ada waktu senggang nanti untuk mengakrabkan diri dengan indahnya kota Palembang di malam hari.

Waktu berlalu. Beberapa kegiatan silih berganti hadir. Namun perjuangan yang sebenarnya baru saja dimulai. Dan bersama kelompok yang lebih sedikit, berpuluh kilometer kembali harus kutempuh.

Tujuan kali ini ialah Kabupaten Musi Banyuasin. Agak lama, aroma pedesaanpun mulai hadir. Beberapa diantara penduduk tanpa sungkan melambaikan tangannya ke arah rombongan bus. Pada saat itu aku mulai bangga menjadi bagian dari STIS. Bangga berseragam biru-biru ketika melintas di penyebrangan menuju kampus, bangga menjadi salah satu penumpang yang duduk berada di dalam bus yang bertuliskan “Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin”. Ya, aku bangga menjadi calon insan abdi negara.

Sedikit lebih lama lagi pandanganku kembali menerobos keluar. Banjir. Rumah-rumah di sepanjang perjalanan tampak tergenang. Beginilah bila manusia berulah, niscaya Tuhan akan menunjukkan kuasa-Nya.

--

Sudah di Desa Lumpatan II saja aku pada sore hari ini. Aku bahagia bila disini. Entah mengapa suasana pedesaan begitu menentramkan buatku. Apa yang tidak kutemui di Pekanbaru, lalu Jakarta, untuk kemudian Palembang, segalanya hadir tertuangkan dalam bentuk ramah-tamah disini. Para lelaki bujang sampai setengah bayapun berbaur satu sama lainnya di sebuah jembatan kecil berkumpul untuk sekedar bercerita melepas lelah setelah seharian di talang. Mereka sekampung seolah-olah dihimpun dalam satu keluarga, satu ikatan emosional, satu kekuatan bila salah satu diantaranya dirundung duka.

Memang pada awalnya kehadiranku teramat asing bagi mereka. Ada yang melepas pertanyaan, “adek-adek ini dari mano?”, “nak ngapoi kemari?”, bermacam-macam. Tapi maklum, dengan pengalaman yang masih minim, wajah kikuk ini menjawab pertanyaan dengan cara sederhana saja, “Praktek Kerja Lapangan, Pak.”.

Rumah-rumah panggung, anak-anak kecil yang menjajakan ikan dari rumah ke rumah, ibu-ibu yang mencuci bahkan sekaligus mandi di genangan banjir, sampai lelaki tua melanjutkan pembuatan sampan di pinggiran Sungai Musi, kesemuanya hadir dalam satu karya disana. Aku bahkan belum pernah melihat keadaan yang amat menarik seperti ini sebelumnya.

Hari berganti. Sampai pada suatu ketika aku berkumpul bersama belasan anak-anak kampung Desa Bailangu di suatu surau. Selepas shalat ashar, satu-persatu mereka berdatangan lalu mengerubuniku seakan-akan aku ini widget yang sangat langka keberadaannya di pedesaan. Namun aku patut berbahagia dan bersyukur, karena dari para bocah-bocah itulah aku dapat belajar arti kehidupan. Walau hanya secuil, namun bermakna.

Sebagian besar dari mereka memang hidup dari keluarga yang memiliki tingkat ekonomi yang rendah. Namun kekurangan itu tidak sedikitpun mengendurkan niat mereka untuk tetap menimba ilmu. Dipenghujung gurauan kami, aku menitipkan pesan untuk mereka semua, bahwasanya aku ingin sekali berjumpa kembali dan akan menunggu kedatangan mereka untuk menyusul dan tiba di Jakarta kelak.

“Tiga..”

“Dua..”

“Satu..”

“Praktek Kerja Lapangan Angkatan 49, Oke‼”, begitu kalimat yang keluar dari mulut para bocah-bocah lugu ini. Kenangan itu kini tersimpan jelas pada sebuah alat rekam berdurasi kurang lebih 10 detik.

--

Sore-sore itu kami berpertualang. Bersepedamotor lebih kurang tiga jam perjalanan kami menuju Desa Sungai Lilin. Memang kegiatan ini untukku lebih cenderung bermanfaat dalam melatih mental pada saat diterjunkan ke daerah yang keadaanya teramat miris dengan segala kekurangannya.

Kembali ditemani hujan. Perjalanan yang romantis, namun sayang, kali ini keturunan Adam yang menemaniku di belakang. Dan perkebunan sawit di sebelah kiri serta perkebunan karet di sebelah kanan, menjadi pemandangan yang tak terelakkan di sepanjang perjalanan.

Ada-ada saja memang rahasia Tuhan. Aku diberi kejutan untuk menetap barangkali semalam-dua malam di suatu pemukiman transmigran. Ya, aku memang telah sampai di pemberhentian, inilah tujuanku, inilah yang harus kukerjakan, inilah masalah yang sepatutnya kusebut hadiah yang harus kutaklukkan.

Disini lain lagi, berbeda. Dari segi bangunan fisik, hingga karakteristik penduduknya. Mereka pendatang dari Pulau Jawa, diberi sejumlah lahan untuk digarap, agar menetap dan meraih kehidupan yang layak. “Disini seperti di desa nenekku.”, sebut salah seorang rekan setimku, yang orang asli Jawa.

Malam. Disaat penduduk masih ramai saja di rumah kepala desa tempat kubermalam. Memang sedikit gaduh karena pas acara syukuran kelahiran seorang bayi tengah berlangsung. Berbagai hidangan menarik berbagai rupa dan warna ada di kehadapanku. Tak jemu si kepala desa menjamuku dan teman-teman. Terima kasih, Pak.

--

Aku, dia, anda, mereka, dan kita kemudian kembali berkumpul di suatu pertemuan. Didalamnya saling bercerita tentang masing-masing pengalaman yang dimiliki. Ada yang berpengalaman mistis, hidup super keras lah, hingga berjibaku dengan medan yang amat sangat sulit untuk dikalahkan dengan nalar sekalipun.

Puji syukur, pada akhirnya kita dapat kembali ke Palembang bersama lagi.

--

Ketika suatu malam. Hasrat ingin melakukan pendekatan dengan keindahan kota Palembang terbayar sudah. Hingga larut malam kubagi pengalaman-pengalaman ini kepada salah seorang teman, tepat di sebuah pojok restoran.

***

0 komentar:

Posting Komentar

© TUL[!]S, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena