tulis saja, walau sedikit, apa saja..

Kamis, 25 November 2010

Mati Rasa

Memang betul. Sebisanya kita jadi manusia untuk senantiasa bersyukur. Lalu dengan memiliki rasa yang penuh syukur, bisa jadi seseorang minim terhadap segala-gala keluhan. Karena setiap pemberian oleh Tuhan untuk kita dalam bentuk kekurangan, hambatan, cobaan, atau apalah nama sejenisnya itu, kalau sudah saja terpatri rasa ikhlas untuk kemudian diikuti dengan rasa syukur, maka jadi deh itu yang namanya anti mengeluh. Atau sepertinya ada sebuah kata yang mampu mewakili anti mengeluh atau tidak mengeluh ini yang sekiranya lebih enak didengar. Apapun itu, dipersilahkan buat anda-anda untuk menggantinya senyaman-nyamannya. Menurut hemat pikir saya, saya menyimpulkan, ngeluh timbul karena si pemilik problema tidak mampu menguasai hati lalu serta pikirannya untuk mencoba ikhlas dan bersyukur.

Bagus memang apabila seseorang mampu memiliki tiga serangkaian sifat-sifat di atas; ikhlas, bersyukur dan terakhir jarang mengeluh. Bayangkan saja betapa mulianya seorang istri yang penuh keikhlasan ditinggal kematian sang suami. Betapa hebatnya keluarga yang selalu bersyukur bila di suatu hari mereka hanya bisa makan sehari sekali, itupun dengan kondisi yang sangat seadanya. Lalu betapa alangkah indahnya dunia bagi mereka yang tidak mengeluh sama sekali dikala Tuhan memberikan penyakit, yang sekalipun tidak dapat disembuhkan.

Namun, coba kelola kembali lalu arahkan mindset kita. Jangan jadi terlalu hyper sehingga “mati rasa” dikarenakan sifat ini (red: ikhlas, bersyukur dan tidak mengeluh). Mati rasa? Maksudnya?

Nah, mari kita berandai-andai lagi. Sekarang beri penilaian terhadap para TKW yang akhir-akhir ini menjadi bulan-bulanan majikannya di seberang sana. Lantas timbul pertanyaan, patutkah mereka diperlakukan seperti itu? Terus, apabila suatu saat nanti kita yang diperlakukan seperti itu, kira-kira apa kita harus ikhlas, bersyukur dan tidak mengeluh? Saya pribadi menjawab ya untuk dua poin pertama dan tidak untuk poin terakhir! Mengapa?

Karena apapun itu, rahasia di langit dan di bumi, meliputi cerita dan masa depan yang akan kita jalani itu kesemuanya adalah suratan Illahi. Kita sebagai manusia cuma hamba yang tak memiliki daya untuk mengubahnya. Untuk itu, apapun yang diberikan Tuhan kepada kita dalam bentuk dan melalui perantara apapun itu, maka terima sajalah dengan rasa ikhlas. Karena Tuhan adalah tuan yang sesungguhnya bagi kita, yang sepatutnya kita muliakan, yang semestinya kita berserah diri terhadap segala-gala keputusanNya. Dan perlu dicamkan, sesuatu yang buruk dari Tuhan itu bukan benar-benar buruk adanya. Bisa jadi itu sebuah media komunikasi antara manusia dengan penciptanya, agar setiap manusia yang agaknya sudah melenceng dari ketetapanNya dapat diperingati untuk kembali ke jalan yang benar.

Terus bagaimana tentang bersyukur? Bersyukur mesti harus eksis keberadaannya dalam bentuk apapun itu keadaan kita, sepahit-pahitnya hidup yang kita lalui, seterpuruk-puruknya seseorang dalam lubang yang sudah tidak mungkin lagi baginya untuk keluar dari sana, kesemuanya WAJIB disyukuri. Karena sebelum cobaan dan lain sebagainya teruntuk dari Tuhan kepada kita, kita sudah diberikan nikmat yang takkan terputus keberadaannya hingga kita bertemu dengan sang ajal, yakni kehidupan.

Lantas, mengapa saya tidak terima bila ada seorang TKW yang diderai penyiksaan oleh majikannya sendiri, terus dengan lapang dada ia sama sekali tidak mengeluh? Ini yang tadi saya namakan mati rasa. Coba sepatutnya posisikan sifat untuk tidak mengeluh ini pada tempatnya saja. Saya khawatir, anti klimaks dari rasa ikhlas dan bersyukur yang teramat dalam tadi mengeluarkan output bukan lagi dalam bentuk jarang mengeluh, tetapi pasrah. Pernah ketika seseorang dengan semangat bertekat untuk tidak lagi mengeluh pada kehidupannya. Lantas, apabila suatu kasus ia diperlakukan tidak adil, apa mesti diam lalu jangan mengeluh?

Saya setuju kalau pada hidup ini usahakanlah untuk meminimalisir segala bentuk keluhan. Sebatas itu saja. Namun kalau untuk menerapkan pola hidup untuk tidak mengeluh, sepertinya itu sudah salah kaprah. Kita kembali ke contoh kasus fenomena penyiksaan terhadap para TKW tadi. Apa mungkin setelah lidah digunting, punggung disetrika, muka disiram air panas, mereka mesti menerima saja terhadap keadaan yang sedemikian?

Di penghujung kesimpulan, coba deh kita pilah-pilah lagi, kapan sekiranya kita untuk tidak mengeluh, dimana sekiranya kita pantas untuk mengeluh. Untuk semua perihal jangan lantas disamaratakan. Bila kita tidak mampu menempatkannya dengan baik, salah-salah kita hanya bisa pasrah saja terhadap apa yang telah, tengah dan akan dilakukan oleh siapapun (dalam hal ini kecuali Tuhan) kepada kita. Karena dengan keluhan, kita bisa mendeteksi benar atau salahnya tingkah laku seseorang. Ingat, hidup mesti diperjuangkan, keadilan mesti ditegakkan, yang salah mesti diluruskan.

2 komentar:

  1. sukaa dg bagian yg ini kk,
    "ngeluh timbul karena si pemilik problema tidak mampu menguasai hati lalu serta pikirannya untuk mencoba ikhlas dan bersyukur"

    teruss..
    "Jangan jadi terlalu hyper sehingga “mati rasa” dikarenakan sifat ini"

    teruus..
    "Saya setuju kalau pada hidup ini usahakanlah untuk meminimalisir segala bentuk keluhan. Sebatas itu saja. Namun kalau untuk menerapkan pola hidup untuk tidak mengeluh, sepertinya itu sudah salah kaprah."

    SETUJU!!

    *kasian ma fesbuk yang justru jd tong yang menampung semua 'sampah2 yang dibuat berlebihan'.


    oiya kk, inspirasinya dr 'jadwal yg maksa' tadi?

    BalasHapus
  2. inspirasinya dari mana-mana. hehe.

    ini juga nulisnya sambil g sadar. hehe lagi.

    BalasHapus

© TUL[!]S, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena