tulis saja, walau sedikit, apa saja..

Rabu, 19 Januari 2011

Sebuah Esai: Human Transgender and The Dimensions


Keberadaan kaum transgender di Indonesia tampaknya cukup eksis. Mungkin pernyataan ini dapat terwakili dengan diadakannya konferensi transgender atau lebih dikenal dengan ILGA (International Lesbian, Gay, Bisexsual, Transgender and Intersex Association) ke 4 tingkat Asia di Surabaya pada tanggal 26 hingga 28 Maret 2010 yang lalu. Padahal gelaran yang diprakarsai oleh Yayasan Gay Nusantara ini menuai berbagai polemik dimata publik, ada yang pro dan ada pula yang kontra. Mereka yang pro diwakili oleh suara Komnas HAM dan DPRD Jatim. Sirmadji Tjondro Pragolo, Wakil Ketua DPRD Jatim mengungkapkan pandangannya bahwa di dalam UU telah dijelaskan, setiap orang wajib menghormati orang lain, termasuk menghormati HAM pilihan orang lain. Sejalan dengan itu, Ketua Komnas HAM Ifdal Kasim menegaskan bahwa kegiatan tersebut harus tetap dilakukan, karena kelompok marginal yang rentan terhadap diskriminasi ini -dalam hal ini kelompok transgender- harus tetap mendapatkan perlindungan hak-haknya. Ia menambahkan pula bahwa pemerintah semestinya proaktif dalam mendukung jalannya acara tersebut, dikarenakan kaum transgender juga merupakan bagian dari bangsa Indonesia. Namun sebaliknya, kelompok Muhammadiyah dalam hal ini diwakili oleh Najib Hamid, Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim berargumen, konferensi tersebut justru melanggar HAM. Karena pada hakikatnya, pernikahan menurut HAM itu ialah pernikahan dengan berlainan jenis, bukan sesama jenis. Dan lagipula, menurut Abdussomad Buchori, Ketua MUI Jatim, keberadaan kaum transgender ini tidak termuat di agama manapun. Ini mengindikasikan bahwa transgender sangat bertentangan dengan dimensi agama.

Kenyataannya, selama ini apabila kita kaitkan antara moral etika dengan aspek-aspek seksualitas, sebagian besar inti hanya terfokus kepada pokok permasalahan hubungan seks pra-nikah. Namun untuk kasus-kasus lainnya jarang menggelembung ke permukaan, mungkin dikarenakan faktor kasus kejadian yang acapkali terselubung. Misalnya, kegiatan komunitas transgender yang seringkali sembunyi-sembunyi dan tidak terdeteksi karena keberadaan mereka yang tidak diterima di masyarakat luas. Sehingga, aspek ini sangat jarang dibahas untuk kemudian dikaitkan dengan persoalan norma agama yang menjadi sandi-sandi dasar berdiri kokohnya etika seorang individu.

Perilaku transgender sangat dekat dengan perilaku melanggar norma keagamaan. Betapa tidak, untuk memenuhi hasratnya, biasanya seorang transgender tidak segan-segan untuk mengupayakan segala cara agar terlihat sempurna dan jauh dari kodrat yang sebenarnya. Misalnya, pembentukan vagina buatan melalui jalan operasi kelamin dan sebagainya. Perihal seperti ini sangat bertentangan dengan hukum agama, termasuk Islam. Secara terang-terangan MUI (Majelis Ulama Indonesia) mengeluarkan fatwa haram bagi mereka yang melakukan operasi kelamin, tentunya dengan berpegang kepada asas-asas syariat Islam. Fatwa ini dilandasi dalam Surah An-Nisa ayat 119, dengan tafsiran: "Dan Aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan Aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubahnya". Barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata", lalu diikuti Surah Al-Hujarat ayat 13 yang berbunyi: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu ialah orang yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”.

Nah sekarang pertanyaannya, apa mereka yang tergabung ke dalam kelompok minoritas transgender ini dapat kita katakan sebagai mereka yang sesat, tak peduli lagi terhadap batasan agama dan hanya mementingkan nafsu dunia di atas segala-galanya? Lagian, apabila kita perhatikan, tak jarang dari mereka (kaum transgender) memiliki kehidupan yang kelam. Kaum transgender sesuai fakta merupakan kelompok yang mana acapkali terinfeksi virus HIV-AIDS dibandingkan dengan mereka yang normal. Kasarnya lagi, di negeri yang memiliki konsep tabu untuk hidup berdampingan dengan kaum ini, merupakan sebuah pilihan yang teramat krusial untuk menjalani hidup sebagai transgender. Belum lagi opini-opini buruk yang mereka terima dari kalangan masyarakat luas.

Okelah kalau misalnya aspek dimensi agama dengan sah atau tidaknya perilaku-perilaku yang ditunjukkan oleh kaum transgender ini hanya urusan meraka dengan Tuhan saja yang tahu, tetapi apa aspek dari sosial kultur juga patut kita kesampingkan? Selayaknya kita sebagai bangsa timur yang teramat menjaga norma-norma kesopanan akibat dari berpegangteguhnya kita kepada nilai-nilai agama, setidaknya jangan sampai lagi kita mesti terdikte akibat buruknya pengaruh budaya barat. Kita ambil contoh saja mengenai free-sex atau seks diluar nikah. Yang dulunya dianggap aib kini sudah menjadi trend di kehidupan. Seolah-olah kita mengadopsi tanpa batas semua perihal yang dipertontonkan oleh bangsa barat.

Namun, bagaimana dengan aspek psikologis yang terpatri di dalam diri seorang transgender? Bila dapat memilih, barang tentu mereka tidak ingin berbuat sedemikian hal. Karena pada prinsip logisnya, transgender umpama wujud biologis yang tak sinkron dengan bawaan identitas jender. Ya, seperti seorang wanita yang bertubuh pria atau wujud wanita namun memiliki sisi maskulin. Dan kalau boleh berpendapat, mereka begini buka sepenuhnya salah mereka. Hanya saja, mungkin mereka tidak mendapatkan perhatian dari kedua orang tua yang semestinya mereka terima di waktu kecil. Alangkah sangat pentingnya bagi orang tua untuk mengarahkan anaknya sedari kecil, dari segi apapun dan untuk perihal apapun, karena masa anak-anak ialah masa dimana seorang anak mampu diarahkan dengan baik dan akan menjadi modal awal bagi mereka untuk memulai menemukan arah jati diri yang sebenarnya.

Namun apapun itu, negatif atau positifnya itu, baik atau burukkah itu, setidaknya kita sesama umat ciptaanNya untuk hidup saling bertoleransi bagi mereka yang berbeda, saling mengingatkan apabila yang satu terkhilafkan, karena sesungguhnya yang berhak memvonis itu hanya Tuhan.

0 komentar:

Posting Komentar

© TUL[!]S, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena