tulis saja, walau sedikit, apa saja..

Selasa, 03 Januari 2012

Memandang Si Miskin dari Sisi Lain



Menurut sebuah artikel lawas yang pernah saya baca disini, jumlah penduduk miskin yang dikeluarkan oleh BPS per Maret 2011 ialah sebesar 12,49 persen atau sekitar 30,02 juta jiwa saja. Angka ini mengalami penurunan sebesar 1 juta jiwa dari periode sebelumnya, yakni Maret 2010. Dari angka yang dikeluarkan oleh BPS itu, diketahui bahwa ternyata mayoritas penduduk miskin atau sekitar 55,7 persennya (16,73 juta jiwa) berada di wilayah Pulau Jawa, lalu diikuti oleh Pulau Sumatera (6,451 juta jiwa), Sulawesi (2,144 juta jiwa), Bali dan Nusa Tenggara (2,073 juta jiwa), Maluku dan Papua (1,650 juta jiwa), dan terakhir Kalimantan (969 ribu jiwa).

Lantas banyak khalayak yang memperdebatkan keakuratan angka-angka ini. Ada yang bilang penurunan angka kemiskinan di Indonesia ini ialah “titipan” dari Pak Beye sebagai bentuk pencitraan keberhasilan dalam menampuk tongkat kepemimpinan negara. Isu ini merebak karena konon Pak Rusman yang kita ketahui bersama sebagai pimpinan tertinggi di BPS ialah teman sepermainan Pak Beye pada masa studi di IPB dahulu. Jelas, sebagai bagian dari yang dicitrakan negatif, yang dituduh sebagai pihak yang berdusta dengan merekayasa angka siluman itu, insan-insan BPS turut meradang.

Terlepas dari itu semua, coba kita perhatikan kondisi di lapangan. Untuk itu berikan saya kesempatan untuk membagikan sedikit pengalaman ini.

--

Suatu hari, saya pernah menghadiri suatu acara di dalam komplek Senayan. Menjelang maghrib, saya pulang, namun singgah sebentar ke Mesjid Al Bina, yang letaknya masih di sekitaran komplek ini, guna menunaikan ibadah salat maghrib. Selepas salat, saya memilih untuk menunggu teman saya di luar, yang kebetulan pada saat itu masih berada di dalam mesjid. Nah, ketika sedang menunggu itu, saya dimintai sedekah oleh seorang ibu paruh baya. Kondisinya sepintas menyedihkan, mengenakan mukena lusuh, kurus kering, kulit agak hitam dan dengan raut wajah yang mengiba-iba menatap dalam-dalam kepada setiap orang yang akan melintasinya. Ketika saya hampir saja mendekati ibu itu, untuk pembuka tak lupa ia mengucapkan salam kepada saya dengan memelas, sembari dengan memasang mimik wajah yang tampaknya berharap-harap. Kondisi ini membuat diri saya tak mampu untuk mengatakan maaf lalu melewatinya begitu saja.

Selesai memberikan beberapa rupiah kepada si ibu, saya mencari posisi yang pas untuk duduk menunggu teman yang belum kunjung jua keluar dari mesjid tadi. Dari posisi ini, saya masih dapat melihat si ibu itu dari kejauhan. Di dalam hati ini masih saja terfikir dan terbayang, kalau saja yang tengah mengiba-iba disana itu ibu saya, tentu saya berharap sekali bahwa setiap orang yang keluar dari mesjid itu dengan senang hati memberikan beberapa rupiah bahkan berjuta banyaknya kepadanya. Bagaimana malangnya nasib ibu itu. Mungkin uangnya yang terkumpul pada saat itu masih belum mencukupi untuk sekedar membeli makan di malam ini. Lantas bagaimana untuk hari esok ya? Saya bergumam sendu kala rinai mulai mengiringi.

Tak beberapa lama merenung, saya kembali mengarahkan pandangan saya kepada ibu itu. Beberapa orang kembali berlalu lalang di hadapannya, ada yang memberi, dan ada pula yang hanya sekedar melewatinya saja. Belum lagi pandangan saya usai, ibu itu menoleh ke arah saya, lalu melempar seonggok senyuman, sepintas lalu membuang pandangannya ke arah sebuah kantong berwarna hitam yang berada di genggamannya, entah apa itu isinya. Awalnya saya berpikir di balik kantong itu berisikan sedikit sisa-sisa makanannya yang tadi siang. Namun sejurus kemudian, alangkah tercengangnya saya, karena dari kantong itu ia mengeluarkan sebuah telepon genggam! Beberapa saat kemudian si ibu tua malah asik berkomunikasi dengan orang di seberang telepon. Saya benar-benar tidak menyangka, orang yang sepintas saya anggap butuh disantuni, ternyata keadaannya tidak seburuk yang saya duga sebelumnya.

Setelah kejadian itu ada banyak hal yang langsung teringat oleh saya. Dulu, paman saya juga pernah melewati kisah yang hampir mirip seperti yang pernah saya alami pada malam itu, namun yang ini lebih super. Bagaimana tidak super, seorang pengemis pernah diketahui oleh paman saya ternyata memiliki sebuah kontrakan. Ia berhasil mengumpulkan pundi-pundi kekayaannya dengan jalan memungut receh demi receh, rupiah demi rupiah di jalanan.

Kita misalkan saja dalam sehari ia turun ke jalanan meminta-minta selama delapan jam. Selama satu jamnya ia berhasil mengumpulkan uang dari meminta-minta ini sebanyak 20 keping recehan uang lima ratusan (yang berarti ia berhasil mengumpulkan uang sebesar sepuluh ribu rupiah), maka dalam sehari ia berhasil memperoleh penghasilan sebesar delapan puluh ribu rupiah. Kalau sebulan? Tinggal kita kalikan saja dengan tiga puluh, maka jadinya total pendapatan selama sebulan si peminta-minta ialah kurang lebih 2,4 juta rupiah. Lumayan bukan? Itu baru berasal dari satu orang lho. Kalau dari sebuah keluarga yang terdiri dari satu ayah, satu ibu dan dua anak? Maka total seluruhnya bisa diperoleh sebesar 9,6 juta rupiah. Wah! Maka tidak heran sebuah lelucon muncul kehadapan bahwa di bulan ramadhan para pengemis pada panen, dan terkhusus di bulan puasa para penjual cendol beralih profesi sementara menjadi pengemis, daripada menganggur di siang hari kan? Haha..

Itulah Indonesia. Mentalnya saja sudah hina dina. Asal besok bisa makan, wes! Sekedar ngejulur-julurin tangan saja bisa menghasilkan duit berjuta-juta, why not? Di zaman kini, bagi pemuda yang menganggur, tidak sedikit yang kalau tidak jadi preman ya jadi pengemis. Banyak saya temui, pemuda yang tampaknya sehat secara jasmani, hilir mudik kesana-kemari menuntun-nuntun seorang tunanetra yang entah diantara keduanya memiliki suatu pertalian biologis atau hanya sekedar sandiwara persengkokolan demi sesuap nasi dan segenggam berlian. Atau coba sesekali menumpang metromini, lalu saksikan seorang pemuda yang berorasi di dalamnya, yang ujung-ujungnya mereka meminta dengan sedikit bentakan memaksa!

Itulah sepertinya mengapa berapa tepatnya jumlah angka kemiskinan di Indonesia sedikit diperdebatkan. Semuanya abu-abu, samar-samar. Yang sesungguhnya sejahtera tapi bermental pengemis bisa mengelabuhi orang yang berpotensi untuk berderma dengan cara berpura-pura miskin. Setelah tujuan tercapai, berhura-hura. Miskin lagi, tinggal minta-minta lagi. Atau parahnya lagi pernah saya saksikan sendiri seorang pengemis menjepitkan sebatang rokok di sela-sela kupingnya. Udahlah mengemis, kok duitnya dipakai buat yang enggak-enggak.

Banyak yang sebenarnya tidak layak untuk memperoleh bantuan, tapi ngotot ngerasa miskin. Kadangkala saya jadi ngerasa aneh sendiri, sebegitu sulitkah mencari rezeki yang halal sampai-sampai memilih jalan pintas dengan mengaku-ngaku miskin?

Jadi sebenarnya kesalahan yang muncul itu terletak pada persepsi masing-masing orang awam. Banyak diantara kita yang tertipu dengan akting-akting haram yang diperagakan oleh sebagian orang demi mengais rezeki baginya. Yang kita lihat mereka itu serba berkekurangan dan terlunta-lunta, namun nyatanya mereka lebih kaya dibanding kita. Yang selama ini kita menyaksikan rakyat miskin itu berserak berceceran dimana-mana, tapi apa iya mereka ini benar-benar tak mampu? Who knows?


0 komentar:

Posting Komentar

© TUL[!]S, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena