tulis saja, walau sedikit, apa saja..

Kamis, 09 Februari 2012

Rindu Amak


Hari ini genap tiga tahun empat bulan mendiang amak meninggal. Dia ibuku. Juga ibu dari Uda Nouval, saudara lelakiku. Kami berdua bersaudara ditinggal mati amak, kami telah piatu.


--


Haikal, lakeh jago, nak. Lamo bana amak manunggu, taibo nyo beko. Haikal, lekas bangun. Ibumu menunggu terlalu lama, kasihan hatinya nanti.” Ayah mencoba membangunkanku. Sayup-sayup aku bisa mengintipnya dari balik jendela kelopak mata. Sedikitpun dia tidak bergeming mengarahkan pandangannya ke wajahku.

Beberapa saat setelahnya, kami bertiga lelaki sudah siap untuk berangkat ke surau guna melaksanakan panggilan Illahi. Matahari belum juga tampak, ayam jantan masih saja di kandangnya, tapi kami sudah tergopoh-gopoh mengurai jalanan setapak berkerikil tajam menuju surau.

Caliaklah Uda Nouval, Yah. Muncuangnyo barambun. Bantuak urang bule ndak, Yah. Bule negro!” Aku meledek abangku itu dengan bijaknya. Subuh itu, kulitnya yang hitam menjadi tampak putih karena udara dingin yang menjalar hingga ke ubun-ubun. Padahal gigiku juga sedang mengetuk-ngetuk kedinginan, tapi mampu aku sembunyikan dengan rapi di balik bibirku yang terkatup rapat.

Baliak dari surau, jan lalok lai dih. Sudah makan awak ka pusaro amak. Pagi ini kita akan ke kuburan ibu.” Ayah berbicara kepada kami berdua yang sedang duduk di tengah-tengah aku dan Uda Nouval. Selepas menyelesaikan kalimat zikir dan berkirim doa, ayah menggendong kami pulang. Uda Nouval bergelantung di punggung ayah, sementara aku dipeluk erat di depan. Udara nan dingin tak lagi terasa, yang ada hanya hawa hangat yang berasal dari tubuh ayah. Kantuk kami bertiga belum usai sesungguhnya pagi itu. Tampak ayah sepintas lalu menguap-nguap saban perjalanan pulang.


--


Di hadapan kuburan amak, kami jongkok mengitari sebidang persegi panjang ini. Di nisannya terpampang tulisan berlumut.


Nama: Leitisia Hakim

Tempat/Tanggal Lahir: Bukittinggi/11 Januari 1978

Wafat: Pekanbaru/9 Juni 2006


Uda haikal memimpinkan kami doa, aku dan ayah mengamini di dalam hati. “Allah, tolong jago amak Haikal jo Nouval ya Allah. Latakan amak di surga. Titip salam kami untuak amak, kami rindu ya Allah. Kami sabana ingin mancaliak amak.” Derai air mata Uda Haikal mengucur pelan jatuh ke tanah kuburan amak, beriringan doa-doa.

Ketika amak meninggal, umurku masih empat tahun lebih. Sementara Uda Nouval tiga tahun lebih tua dariku. Uda Nouval pernah bercerita, kala itu rumah kami penuh sesak. Orang-orang sekampung datang berduyun-duyun. Melantunkan doa. Hingar-bingar hingga malam, malam ke pagi, tanpa henti doa mengalir deras untuk amak. Hari itu Pak Etek Adang dan Mak Etek Yuih datang dari Bukittinggi, berikut ada pula Uni Mur, Uda Didi, Mak Etek Pit, Mak Etek Ir, Pak Etek Budi, Uda Ujang dan banyak lagi sanak keluarga yang lain.

Saking banyaknya yang berkunjung, tetamupun melimpah ruah hingga ke luar pekarangan. Jalan sempit belum beraspal di depan rumah kami sampai harus ditutup sementara. Banyak yang menangis untuk amak. Sekumpulan wanita-wanita membuat kumpulan-kumpulan kecil disana-sini, berisak tangis bersama, dan untuk sejurus kemudian kelompok-kelompok itu menamatkan bacaan Surat Yasin mereka. Sementara para lelaki dewasa mengerubuni ayah, membujuk ayah agar tak bersedih lagi.

“Istighfar Efendi, istighfar. Iko alah kuaso Tuhan, ndak seorangpun nan mampu manghinda. Ikhlaskan sadonyo. Tawakal.”

Ketika amak sudah berada di liang kubur, aku tengah terlelap di dekapan Pak Etek Adang, sementara ayah mengazankan jenazah amak, dan kemudian amak terkubur di peristirahatan terakhirnya.


--


Sejak kecil, aku sudah sering ditinggal ayah di rumah. Ayah bekerja serabutan. Kadang menjadi sopir tembak travel gelap berute Pekanbaru ke Pangkalan Kerinci. Jaraknya bisa hingga tiga jam perjalanan. Kalau ayah sedang ngebut-ngebutnya dan penumpang sedang sedikit, tak jarang jarak itu bisa dilibas ayah cuma dalam waktu dua jam. Dalam sehari ayah bisa sampai tiga kali bolak-balik Pekanbaru-Pangkalan Kerinci, diupah Rp. 15.000 untuk sekali jalan. Menjadi sopir tembak hanya terjadi kadang-kadang sekali.

Pernah juga ayah menjadi tukang kara1. Selepas salat subuh biasanya ayah sudah berangkat. Sehari-harinya ia ditemani tentengan goni plastik dan sebilah tongkat yang diujungnya terdapat pengait besi yang bengkok. Dari pagi buta hingga ke malam gulita, dari utara hingga ke selatan, dari daerah perkotaan hingga ke sudut-sudut kampung. Ayah berjalan dan terus berjalan, mencari barang-barang bekas yang tak laik lagi dipakai. Semua ia kais dan kumpulkan. Kakinya berurat-urat, badannya mengeluarkan bau busuk, kuku tangannya acap kali menghitam panjang-panjang, raut muka centang prenang. “Kalau wa’ang alah gadang, ijan tiru ayah nan bantuak iko ndak. Jangan seperti ayah kalau sudah besar nanti.”

Atau sekarang saja, aku sedang ditinggal ayah bekerja. Setiap kali ayah pergi mencari nafkah, ia selalu menyertakan Uda Nouval. Uda Nouvallah yang menjadi kernet ketika ayah menjadi sopir tembak. Uda Nouval juga kerap membantu ayah mencari barang bekas di siang dan malam. Sedikit-sedikit Uda Nouval mampu menabungkan uang penghasilannya sehari-hari. Hingga kepada suatu hari, dia pernah menghadiahiku sebungkus balon tiup, lengkap dengan pernak-pernik hadiah mininya. Kata Uda Nouval, aku jadi tidak perlu lagi setiap sebentar jajan ke kedai untuk melotre nomer undian yang berada di balik bungkus balon tiup itu untuk mengincar hadiah mainan terjun payung atau gasing plastik.

Sementara aku? Ayah cuma berpesan kepadaku setiap kali sebelum ia berangkat kerja, bahwa aku dilarang untuk keluar rumah ketika ayah dan Uda Nouval pergi bekerja. “ Kok ado urang jahek, antok se. Ayah ndak lamo. Beko Ayah balian untuak Haikal martabak Haji Aguih.” Selesai berpesan, aku menjabat erat ayah dan menciumi punggung tangan hitam berkilatnya itu. Dari balik bilik pintu, sembunyi-sembunyi aku lambaikan tangan ke ujung perjalanan panjang ayah dan Uda Nouval. Lamat-lamat, Mak Tuo ─tetangga kami yang dipercaya ayah untuk menitipkan diriku kepadanya─ menarikku untuk masuk kembali ke dalam rumah.

Tampaknya nasibku nanti tidak akan jauh berbeda dengan Uda Nouval. Dia tidak sekolah, tidak pernah sama sekali. Paling, besar sedikit lagi aku akan sudah diajak ayah bekerja seperti yang tengah dialami Uda Nouval kini. Bagaimana mungkin aku tidak akan seperti ayah dewasa nanti. Sekolah saja mustahil rasanya bagiku. Jangankan untuk sekolah, buat makan sehari-hari saja sulit. Aku yakin, ayah takkan mampu mencukupi dana untukku bersekolah.

Kalau amak masih hidup, mungkin lain lagi ceritanya. Semasa mendiang masih hidup, kami sekeluarga boleh dibilang tidak berkekurangan. Tidak mengkhawatirkan seperti sekarang. Dulu itu amak rajin sekali membuat kerupuk emping, lalu dititipkannya di rumah makan Pak Eteng Mun di Pasar Senapelan. Macam-macam dulu usaha amak. Bahu-membahu ia bersama ayah mencukupi kebetuhan keluarga kami. Belum lagi juga ayah dulu masih sering-seringnya mendapatkan kesempatan untuk menjadi sopir tembak. Menjadi sopir tembak adalah pekerjaan yang mendatangkan penghasilan paling besar bagi ayah dari seluruh pekerjaan serabutan yang pernah dijalaninya.


--


Mak Tuo berusaha meraih foto keluargaku. Foto itu tergantung di dinding rumah. Berdebu dan terbengkalai. Di foto itu cuma ada Uda Nouval, ayah dan juga ibu. Mungkin pada waktu itu aku belum lahir. “Haikal ko lah cucu Mak Tuo nan paling kamek, paling santiang. Haikal cucu Mak Tuo yang paling ganteng dan pintar.” Entah sudah berapa kali wanita tua itu menyanjungku. Ia amat menyayangiku. Senang sekali ia memelukku hingga aku tertidur pulas, atau bahkan menyuapiku dengan kasih sayang. Akupun bahagia dengan perlakuan manja yang diberikan nenek-nenek ini. Walau hanya disuapi nasi dengan lauk pucuk ubi dan sambal lado, aku lahap-lahap saja menerima makanan dari sodoran tangannya, sampai-sampai perutku kenyang membuncit.

Tidak hanya Mak Tuo yang senang kepadaku. Banyak tetangga-tetangga yang sekedar mampir ke rumah untuk memberiku kue, atau panganan apa saja. Hidupku bahagia, walau perekonomian keluarga terlunta-lunta. Dari segi fisik, kondisiku tidak menggambarkan seseorang yang berasal dari golongan orang miskin. Kulitku putih bersih, badan gendut berisi, rambut lurus mengkilat, hidung mancung, mata berbinar cerah, lincah bergerak, periang sekali, menggemaskan sekali di kala itu. Amat kontras bila dibandingkan dengan Uda Nouval. Badannya kurus sekali. Tulang-belulang tidak sungkan lagi untuk muncul ke permukaan kulitnya. Aku saja sering iba bila memandangnya. Secara penampakan, ia mirip sekali dengan ayah.


--


Sampai kepada hari ini, rumah kami ramai lagi. Kali ini malah lebih ramai. Di hadapanku sudah ada dua keranda. Yang satu berisi mayat ayah, disebelahnya tergeletak terbujur kaku yang tak lagi bernyawa, sang abang, Uda Nouval.

Mereka berdua meregang nyawa karena kecelakaan subuh tadi, di KM 25 arah Pangkalan Kerinci.

2 komentar:

  1. Ondeeeh, hibo hati dek nyo kak, dima lah ka dicari pengganti ayah bundo >,<

    BalasHapus
  2. hahaha.. dimanaaaa dimana diimaanaa.. ku haruuus mencarii dimanaaa.. :DD

    BalasHapus

© TUL[!]S, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena