tulis saja, walau sedikit, apa saja..

Rabu, 15 Februari 2012

Sebuah Renungan Untuk Seorang Calon Pemimpin


Kini status saya adalah seorang pegawai magang di salah satu instansi pemerintahan non departemen yang berlokasi di ibukota. Momen-momen magang adalah momen-momen yang saya jadikan sebagai ajang pembelajaran atas banyak hal sebelum kelak ditempatkan di daerah nanti. Banyak sekali hal-hal baru yang jauh sebelumnya belum pernah sama sekali saya rasakan. Di dunia perkerjaan, hasrat dalam menuntaskan segala tekanan terpacu berkat motivasi dalam meraih power (kekuasaan) dan gold (kekayaan). Berbeda sekali apabila dibandingkan dengan hari-hari yang telah saya lalui ketika masih berkuliah dahulu, faktor penarik yang selalu saja hadir ketika saya tengah terpuruk dan frustasi didominasi atas appreciation (gelar, prestasi, penghargaan, puja-puji) dan juga recognition (pengakuan).

Di dunia pekerjaan, kita mengenal istilah pemimpin dan bawahan. Ada struktur organisasi yang mampu menjelaskan siapa yang tengah berkuasa dan siapa yang tengah dikuasai. Seorang pucuk pimpinan memiliki daya kuasa dalam menetapkan semua keputusan yang terangkum di dalam organisasi yang tengah dikuasainya serta bertanggungjawab penuh terhadap segala keputusan-keputusan itu. Maka dari itu, setidaknya alasan ini telah cukup mampu menjelaskan mengapa bayaran seorang pemimpin lebih tinggi dibandingkan dengan anak buahnya. Hahaha.

Seorang Pemimpin Itu Harus Bagaimana?

Menjadi seorang pemimpin tidaklah mudah. Ada banyak tantangan yang mesti dilaluinya. Beban yang dipikul juga lebih berat dibandingkan dengan struktur yang menjabat di bawahnya. Pemimpin ialah otak dari sebuah organisasi. Dialah alasan dari semua motif-motif yang ada. Dia juga menjadi dalang dari segala-gala kinerja baik-buruk dari banyaknya pegawai yang dikomandoinya. Bila sebuah organisasi dinahkodai oleh seorang yang cakap, maka kapal yang tengah dikemudikannya mampu sampai kepada tujuan yang ingin dicapai walau sebagaimanapun ombak besar di depan akan menerjang.

Sebelum memimpin sesuatu yang lebih besar, katakanlah menjadi pemimpin sebuah perusahaan atau yang lebih kecil seperti sebuah keluarga, kita telah lebih dahulu ditakdirkan oleh Allah SWT untuk menjadi pemimpin atas diri kita sendiri. Anggap saja diri kita ialah sebuah perusahaan super-mikro yang memiliki satu orang pegawai yakni diri kita sendiri, serta satu orang boss yang diperankan oleh diri kita sendiri juga. Katakanlah perusahaan itu ingin meraih target tertentu di suatu periode, misalnya wisuda. Boss (baca: batin) memerintahkan kepada anak buahnya (baca: tindakan) untuk melakukan ini-itu yang berdaya guna dalam meraih misi perusahaan tadi, dalam hal ini wisuda. Batin kitalah yang menyampaikan kepada tindakan agar melakukan berbagai kegiatan supaya wisuda di periode tersebut mampu digapai, misalnya: belajar lebih giat agar lebih cemerlang dalam menghadapi berbagai mata kuliah, atau lebih gigih dalam beribadah agar kondisi psikologis menjadi lebih tenang, serta banyak contoh lain halnya.

Yang perlu digarisbawahi dalam permisalan di atas ialah, seorang pemimpin harus lebih kuat dibandingkan dengan bawahannya. Kuat apanya? Jawabannya adalah batin! Dalam hal ini saya sejajarkan dengan nilai-nilai perasaan, psikologis, kejiwaan, mental dan lain sebagainya yang bersumber kepada hati. Apabila dari sisi kebatinan saja seseorang sudah tidak kukuh, maka runtuhlah semangat-semangat yang pernah menggelora, dan sejalan dengan itu maka semakin samar-samar saja target-target yang ingin direnggut yang telah ditetapkan di awal.

Pemimpin yang handal ialah dia yang mampu memanipulasi batinnya. Yang ketika bersedih, seketika ia tegakkan kepala dan takkan mau berlama-lama dalam kukungan laranya itu. Pemimpin yang telah teruji batinnya maka dialah sebaik-baiknya pemimpin. Bukankah kita pernah takjub dengan sebuah kisah yang menceritakan bahwa pernah ada seorang kepala keluarga yang mampu mensarjanakan semua anak-anaknya, padahal keluarga itu berangkat dari derajat kemiskinan yang paling bawah. Bagaimana bisa? Karena dengan motivasi yang membatin, bukan tidak mungkin semua hal itu bisa terjadi.

Menyangkut ranah organisasi pasti akan diikuti berbagai problema di belakangnya. Bila batin kita tidak siap, tidak kokoh, maka kita belum layak untuk lebih jauh memangku jabatan sebagai seorang pemimpin. Kan tidak lucu apabila justru bawahanlah yang berorasi guna melecuti semangat atasannya ketika suatu perusahaan tengah diancam gulung tikar. Lantas mau dibawa kemana wibawa atasan yang macam itu? Hehehe.

Umpamanya, ketua kelaslah yang menyemangati teman-temannya pada waktu-waktu krusial mendekati ujian, bukan malah ikut terpuruk dalam sebuah kegalauan berjemaah. Atau seorang suami yang setia memeluk dingin sang istri, ketika keluarga kecil itu tengah dirundung kelaparan akibat kemelaratan, bukan lari menangis menjauhi sang istri lalu lantas menghabisi dirinya sendiri dengan cara bunuh diri. Jadilah pemimpin yang begitu tangguh batinnya, yang luas hatinya, yang tahan banting, yang tenang dan menenangkan, yang tegar dan mampu menegarkan.

Pemimpin yang berhasil meraih sukses disana-sini menurut saya sih sudah biasa, namun pemimpin yang mampu bertahan pada masa-masa penderitaan dialah yang luar biasa! Mengapa demikian? Sekarang coba anda sekalian simak dan bandingkan sebuah contoh yang akan saya berikan berikut ini.

Dua buah kapal –Rintang dan Lancar Jaya­– sekarang sama-sama sedang berlayar menuju sebuah pulau yang makmur, sebut saja The Land of Heaven. Kedua kapal itu sama-sama dinahkodai oleh seorang yang cakap, memiliki kebatinan yang sama-sama terpelihara. Bedanya, Kapal Rintang hanya terbuat dari kayu, ukurannya lebih kecil sehingga apabila suatu ketika kapal itu menghadapi ombak yang besar di tengah laut, maka goncangannya akan terasa, sampai-sampai air yang menerjang kapal itu mampu membuncah masuk ke dalam kapal. Tidak hanya itu, awak kapal itu jumlahnya juga lebih sedikit, perbekalan yang mereka miliki juga teramat memprihatinkan, hanya seadanya. Kondisi yang berkebalikan justru dirasakan oleh Kapal Lancar Jaya. Kapal itu berbahan besi, sehingga ombakpun ciut untuk menerjangnya. Ransum yang tersedia sungguh lebih dari kata mencukupi. Tanpa hambatan yang berarti, Kapal Lancar Jaya akhirnya berhasil menuju The Land of Heaven, dengan meninggalkan Kapal Rintang jauh di belakang.

Diceritakan bahwa ternyata Kapal Rintang tidak berhasil mencapai garis finish dengan segala kekurangannya itu. Sang nahkoda kapal mengakui keunggulan lawannya, Kapal Lancar Jaya. Ia juga bersedih sebab ia gagal membahagiakan awak-awak kapal yang berada di bawah kepemimpinannya. Pada saat itulah timbul berbagai polemik, kerukunan antar orang-orang yang berada di dalam satu kapal itu mulai goyah. Namun, karena batin yang sakti dan mental yang kokoh bagai karang di tengah lautan, sang nahkoda mampu mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada dan serta pada akhirnya ia sukses menjaga kesolidan timnya. Masing-masing awak Kapal Rintang menyadari, bertahan dari masalah yang tengah merundung akibat ketidaksempurnaan yang mereka miliki adalah sebuah pencapaian kemenangan yang sejati.

Sekarang coba tanyakan pada diri anda, bila disuruh memilih, anda ingin melakukan perjalanan dengan menggunakan Kapal Rintang atau Kapal Lancar Jaya? Asumsi awal saya, secara logika pasti banyak dari anda yang lebih memilih Kapal Lancar Jaya, sebab perjalanan yang ditempuh akan lancar-lancar saja, tidak ada masalah berarti yang membelenggu. Banyak dari anda yang menghindari Kapal Rintang bukan? Wah, alangkah hebatnya ya, si nahkoda Kapal Rintang ini. Atau betapa hebatnya ya, seorang ayah dari keluarga yang miskin, tapi keluarga itu tetap hidup dengan harmonis. Atau betapa hebatnya ya, seorang yang terlahir cacat yang tak memiliki tangan dan kaki namun masih mampu tersenyum tulus kepada orang-orang di sekelilingnya.

Sekali lagi, orang yang berhasil itu hebat, tapi orang-orang yang tetap tegar dalam keibaannya itulah yang lebih hebat! Jadilah pemimpin-pemimpin yang hebat, untukmu, istri dan anakmu, dan agamamu.

Salam.


0 komentar:

Posting Komentar

© TUL[!]S, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena