tulis saja, walau sedikit, apa saja..

Kamis, 22 Maret 2012

Sebuah Pandangan



Akhirnya, imbas dari keberadaan moratorium penerimaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diterapkan oleh pemerintah hingga akhir tahun ini turut dirasakan oleh saya pribadi–yang sengaja tidak pula saya simpulkan secara menyeluruh terhadap satu angkatan, sebab belakangan hal ini mulai sensitif untuk dibawa-bawa.


Mengapa saya bisa sampai merugi? Dari segi waktu saja misalnya, tentu akan memboroskan. Akan ada “masa jeda” yang tertunda dalam peralihan status, yang semula saya hanya tercatat sebagai seorang pegawai magang, untuk kemudian bisa berevolusi sebagai seorang Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Dampak dari hal ini sejatinya akan bermuara kepada soal uang. Untuk diketahui, honor yang diterima oleh seorang pegawai magang di instansi tempat saya mengabdi ialah tak lebih dari Rp. 1.000.000, dengan catatan bila si bersangkutan tak pernah absen dalam waktu sebulan itu. Belum lagi mengenai aturan pemangkasan honor lainnya yang saya rasa sedikit kejam, yang mana bila si bersangkutan datang lewat dari jam 8 pagi atau mungkin pulang kurang dari jam 4 sore–walau barang sedetik saja­–tanpa ampun akan dianggap tidak hadir pada hari itu. Saya tidak mengerti besaran nominal pemotongannya berapa. Namun, sebagai rujukan mungkin bisa mengacu kepada honor yang saya terima untuk bulan Februari lalu yakni sebesar Rp. 952.000 dengan jumlah ketidakhadiran sebanyak 1 hari saja. Untuk soal ini, tidak terlalu jadi masalah bagi saya. Mungkin, bagi sebagian teman-teman yang pada kenyataannya masih mendapatkan kucuran “dana bulanan” dari orang tuanya tentu hal ini tidak menjadi soal. Total pemasukan dari dua sumber­ yang berbeda–honor magang dan kiriman dari orang tua–saya anggap lebih dari kata cukup dalam usaha pemenuhan kebutuhan hidup selama satu bulan penuh.


Bagaimana bagi mereka yang benar-benar sudah mulai “mandiri”? Sehari berhalangan masuk kerja saja, duit pemotongannya mungkin bisa dibelikan kebutuhan untuk makan sehari-hari selama dua hari. Belum lagi pengeluaran untuk ini dan itu. Saya yakin, duit sejuta yang ia terima itu masih begitu kurang untuk mengarungi hari-hari sebulan ke depan. Mungkin, untuk bertahan selama dua hingga tiga bulan dengan situasi tersebut sih masih sanggup. Tapi bila lebih dari itu tentu akan menimbulkan kegelisahan tersendiri. Buktinya saja, sudah banyak teman-teman seangkatan yang mulai mencari penghasilan sampingan yang beragam, mulai dari menjual makanan aneka macam, menjadi konsultan statistik, mengajar les, dan lain-lain. Celakanya, tidak semua orang rezekinya sama. Saya yakin, semua teman-teman yang turut merasakan kegelisahan yang tengah saya rasakan ini, pasti telah berusaha mati-matian sebelumnya untuk mencoba “peruntungan” lain guna menambah pundi-pundi penghasilan. Setelah dilecut moratorium, semua orang menjadi sedikit terpeloncat krasak-krusuk mencari lubang-lubang nafkah yang lain. Saya pribadi sih, tetap setia kepada prinsip yang mengatakan bahwa: seorang sarjana itu sejatinya membuka lapangan pekerjaan yang baru, bukan mencari lapangan pekerjaan yang lama; menyerap pengangguran-pengangguran, bukan terancam pemecatan; menggaji, bukan digaji. Jadi teruslah berusaha, jangan pernah menyerah. Bila ingin dibayar mahal, kita harus siap memeras keringat lebih deras.


Untuk Ke Depan


Saya termasuk orang yang netral atas mengemukanya fenomena “e-mail kaleng” tempo hari itu. Ada hal-hal yang menjadikan saya simpati dan sekaligus antipati terhadapnya. Bila kemunculan surat itu tiada, maka mungkin kejelasan info mengenai nasib saya pribadi akan terkatung-katung. Posisi saya pasti akan terjerat dan terus berputar di dalam arus-arus isu yang ada, tanpa adanya suatu kejelasan. Kalau tidak ada “e-mail kaleng” itu, saya pasti hanya bisa menerka-nerka akan sampai kapan magang ini berakhir, bila pengangkatan itu tiba, dan lain-lain. Namun kini, semuanya telah terjelaskan, apa yang menjadi sumber pertanyaan di benak saya selama ini terjawabkan dengan tuntas: keputusan magang tetap lanjut atau tidak di bulan April nanti masih dalam tahap pembahasan lebih lanjut, pengangkatan CPNS dilakukan selambat-lambatnya di bulan Agustus, semuanya clear! Mengenai keluhan tentang kasus mesin handkey pun juga dia sampaikan dengan berani. Yang ini pantas saya apresiasi, sebab sering kali saya kok jadi berkecil hati rasanya ketika pulang kantor mesti mengantre bersama teman-teman magang lainnya untuk sekedar melakukan finger print–yang mana hal ini tidak terjadi pada pegawai reguler lainnya. Agak sedikit terdiskriminasi kalau menurut pandangan saya. Atau memang hak anak magang diperuntukkan hanya dalam satu mesin handkey akan berbeda ceritanya, entahlah. Lagipula, apa tidak malu nantinya bila pemandangan mengular demi antrean absensi ini tersaji di depan tamu yang berkunjung dari instansi luar? Mau diletakkan dimana keprofesionalitasan kita sebagai lembaga pemerintahan negara bila mengurai permasalahan ini saja kita belum mampu.


Namun sayang, sisi positif yang ditawarkan oleh si pengirim “e-mail kaleng” itu sedikit banyaknya tercemar oleh perangainya sendiri. Untuk sekelas akademisi yang intelek, tentu melanggar norma-norma kepantasan dalam menyampaikan keluhan dengan cara seperti itu. Tutur kalimat yang dituliskan tidak mencerminkan ia sebagai seseorang yang pure ingin mengaktualisasi keingintahuan orang banyak. Semakin ke mari kok rasanya keluhan yang ia sampaikan juga semakin tidak sopan cara penyampaiannya, terkesan dibuat-buat dan memancing-mancing amarah. Etikanya, tidak baik rasanya menjudge seseorang dalam sebuah rangkaian pertanyaan. Contoh: kamu ke mana tadi malam, selingkuh ya? atau: mengapa mesin handkey untuk kami hanya ada satu, ini tidak adil! Belum sempat dijawab, si empunya saja sudah dicap yang bukan-bukan. Kalau dari kedua pertanyaan di atas terbukti dengan masing-masing jawaban: ya, aku menghabiskan waktuku dengan wanita lain atau untuk kalian memang cuma diberikan satu mesin handkey, baru kita bisa menyimpulkan lawan bicara kita berselingkuh atau anda dalam posisi yang sedang disepelekan. Intinya, jangan menyeka kesimpulan terlebih dahulu sebelum menerima penjelasan dari yang bersangkutan, itu tidak baik. Lebih-lebih bila pertanyaan yang kita ajukan tertuju kepada kalangan profesional. Tata baku yang dipergunakan tentu juga harus santun, boleh tegas asal halus. Menuntut apa yang menjadi hak kita tentu bagus, tapi bila dibubuhi dengan emosi sesaat saya kira jauh dari kesan istimewa.


Saya Pikir…


Saya masih heran, padahal lulusan dari Perguruan Tinggi Ikatan Dinas (PTID) termasuk ke dalam pengecualian dalam arus moratorium. Lantas kenapa sampai tertunda begini? Adakah sesuatu yang salah sebenarnya “di atas” sana? Betulkah mekanisme birokrasi memang seburuk pencitraan khalayak ramai? Saya yang menjabat di kasta terbawah dari pertalian ini setidaknya sudah pernah merasakannya sekarang.


Sesungguhnya saya juga sangat merindukan masa-masa dimana kelak saya benar-benar diangkat menjadi seorang pegawai negara, dengan mengantongi Surat Keputusan (SK) yang sah di tangan. Bukan lagi seperti sekarang, yang semua angan-angan yang telah dicanangkan semula tentu turut terurung dan terundur.


Saya khawatir, regenerasi di tubuh pemerintahan nantinya akan turut serta membawa pelajaran-pelajaran bobrok yang pernah didapatinya selama ini. Sebuah selingan pernah terdengar oleh saya, begini bunyinya: di dalam birokrasi, kalau bisa diperlambat, kenapa mesti dipercepat? Kalau kita tidak mampu menghindar dari pemahaman-pemahaman yang buruk seperti ini semenjak dini, bukan tidak mungkin di suatu saat nanti ketika saya dan teman-teman seangkatan telah menjadi tokoh-tokoh pemimpin, turut menganut paham yang sama hingga mengakar ke anak-cucu kelak.


Jadi, mulai kini cobalah untuk menerapkan sikap-sikap yang baik di dalam setiap hal, termasuk di dalam dunia pekerjaan. Jadikan kekeliruan-kekeliruan yang tersaji di dalam aksi moratorium ini sebagai bekal bagi kita guna memperbaiki masa depan negara. Bersikaplah anggun dengan mempersembahkan aksi yang suci, bukan dengan cara yang terkutuk. Kita sebagai generasi muda ialah duta pembawa revolusi bagi terciptanya sesuatu yang lebih baik ke depannya. Kalau sejak muda saja kita sudah melontarkan sifat-sifat yang buruk ke bidang publik, lantas mau jadi apa bangsa ini di masa mendatang? La haula wala quwwata illa hi mindzalik.


Salam.


2 komentar:

  1. Suka dengan kalimat ini : "seorang sarjana itu sejatinya membuka lapangan pekerjaan yang baru, bukan mencari lapangan pekerjaan yang lama; menyerap pengangguran-pengangguran, bukan terancam pemecatan; menggaji, bukan digaji."

    BalasHapus
  2. terima kasih novi, udah mampir. salam. :)

    BalasHapus

© TUL[!]S, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena