Hari Selasa
yang lalu (08/01/2013), Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya resmi memutuskan
kasus mengenai Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang sebenarnya
telah diajukan sejak bulan Desember 2011 lalu. Setelah mempertimbangkan
berbagai hal, MK mengabulkan permohonan si penggugat agar “label” RSBI yang
selama ini tersemat di beberapa sekolah yang berada di berbagai daerah dapat dihapuskan.
MK
berasumsi bahwa keputusan tersebut dilatarbelakangi oleh berbagai alasan yang
cukup subjektif–bagi penulis. Pertama,
timbulnya kastanisasi antara RSBI dan non RSBI (sekolah reguler). Kedua, dengan biaya pendidikannya yang
lebih mahal dari sekolah reguler, RSBI “mengancam” peluang bagi anak-anak cerdas
yang berasal dari kalangan yang kurang mampu untuk dapat melanjutkan pendidikan
di sana. Artinya, timbul diskriminatif bagi golongan tertentu. Ketiga, di RSBI juga diterapkan
penggunaan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam setiap mata pelajaran
yang diajarkan. MK berkesimpulan bahwa hal tersebut secara tidak langsung dapat
mengikis jati diri bangsa dan melunturkan kebanggaan generasi muda terhadap
penggunaan dan pelestarian Bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa.
Ingat RSBI, Ingat Smandel
Sekolah
Menengah Atas Negeri (SMAN) 8 Pekanbaru merupakan salah satu RSBI (atau malah
sudah menjadi SBI–Sekolah Bertaraf Internasional, red) yang ada di Kota Pekanbaru. Dari dulu sekolah ini memang
selalu menjadi primadona bagi calon siswa baru. Di masa-masa ketika saya masih
duduk di bangku sekolah menengah atas, smandel
(sebutan “gaul” untuk SMAN 8) selalu menjadi sekolah favorit, bersanding dengan
SMAN 1 dan SMAN Plus.
Dulu
mungkin smandel hanya memiliki kelas
akselerasi (percepatan) sebagai wadah bagi anak-anak yang memiliki keunggulan
dari segi intelektualitas. Namun, akhir-akhir ini saya mendengar
istilah-istilah baru semisal Kelas Internasional (KI), yang menggambarkan bahwa
telah terjadinya dinamika proses pendidikan di almamater penulis. Perkembangan
juga terjadi pada proses perekrutan calon siswa, yang mana perekrutannya dilakukan
dengan cara melalui beberapa buah tes. Sebagai informasi tambahan, untuk
sekolah reguler, perekrutan dilakukan tanpa melalui tes, hanya diseleksi
berdasarkan nilai rapor saja.
Tata cara
perekrutan melalui serangkaian tes ini yang kemudian dinilai menjadi sebuah
celah untuk dapat melakukan praktik kolusi antara pihak calon siswa dengan
pihak penyelenggara penerimaan siswa baru. Bila dugaan ini benar, tentu citra
dari smandel sendiri akan merosot. Mengapa? Pertama, bagi anak-anak yang terkualifikasi secara
akademik namun tak “bermodal” akan tergeser haknya oleh anak-anak yang secara
akademik tergolong rendah namun berasal dari golongan kaya. Dengan praktik
seperti itu, kesempatan bagi seorang siswa berprestasi namun miskin akan kian meredup.
Imbasnya, mereka hanya bisa survive di
sekolah-sekolah non unggulan. Kedua,
kualitas siswa-siswa yang bersekolah di sana pun juga akan menurun, karena ada
dari mereka yang diterima dengan cara-cara yang curang. Mungkin dulu smandel boleh berbangga hati karena
mencetak banyak lulusan yang berprestasi: lulus Ujian Nasional (UN) seratus
persen, diterima di berbagai Perguruan Tinggi bergengsi di Indonesia bahkan di
luar negeri, memenangkan berbagai perlombaan hingga olimpiade, menjadi pemimpin-pemimpin
besar, macam-macam. Sekarang, apakah prestasi tersebut masih mampu dipertahankan
lebih lama lagi oleh Kepala Sekolah beserta jajarannya?
Bangunan-bangunan
di smandel boleh saja berdiri dengan
megahnya, namun itu takkan berarti bila prestasi sekolah semakin rubuh.
Fasilitas-fasilitas di smandel boleh
saja istimewa sempurna, namun itu takkan berarti bila tiada peluang bagi
anak-anak miskin untuk turut serta merasakannya. Guru-guru di smandel boleh saja berkompeten, tapi apa
guna bila yang diajar sekelompok murid nan pongah.
Besar
harapan penulis agar smandel tetap
terjaga kualitasnya serta selalu diperhitungkan sebagai sekolah yang tak hanya
bergengsi, namun juga penuh prestasi. Tidak sampai disitu, smandel wajib membuka peluang yang selebar-lebarnya bagi mereka
yang berprestasi untuk mengenyam pendidikan di sana, tanpa harus memandang
status sosial ekonominya. Ingat, Keadilan
Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Salam.
0 komentar:
Posting Komentar