tulis saja, walau sedikit, apa saja..

Rabu, 09 Januari 2013

RSBI dan Smandel


Hari Selasa yang lalu (08/01/2013), Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya resmi memutuskan kasus mengenai Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang sebenarnya telah diajukan sejak bulan Desember 2011 lalu. Setelah mempertimbangkan berbagai hal, MK mengabulkan permohonan si penggugat agar “label” RSBI yang selama ini tersemat di beberapa sekolah yang berada di berbagai daerah dapat dihapuskan.

MK berasumsi bahwa keputusan tersebut dilatarbelakangi oleh berbagai alasan yang cukup subjektif–bagi penulis. Pertama, timbulnya kastanisasi antara RSBI dan non RSBI (sekolah reguler). Kedua, dengan biaya pendidikannya yang lebih mahal dari sekolah reguler, RSBI “mengancam” peluang bagi anak-anak cerdas yang berasal dari kalangan yang kurang mampu untuk dapat melanjutkan pendidikan di sana. Artinya, timbul diskriminatif bagi golongan tertentu. Ketiga, di RSBI juga diterapkan penggunaan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam setiap mata pelajaran yang diajarkan. MK berkesimpulan bahwa hal tersebut secara tidak langsung dapat mengikis jati diri bangsa dan melunturkan kebanggaan generasi muda terhadap penggunaan dan pelestarian Bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa.

Ingat RSBI, Ingat Smandel

Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 8 Pekanbaru merupakan salah satu RSBI (atau malah sudah menjadi SBI–Sekolah Bertaraf Internasional, red) yang ada di Kota Pekanbaru. Dari dulu sekolah ini memang selalu menjadi primadona bagi calon siswa baru. Di masa-masa ketika saya masih duduk di bangku sekolah menengah atas, smandel (sebutan “gaul” untuk SMAN 8) selalu menjadi sekolah favorit, bersanding dengan SMAN 1 dan SMAN Plus.

Dulu mungkin smandel hanya memiliki kelas akselerasi (percepatan) sebagai wadah bagi anak-anak yang memiliki keunggulan dari segi intelektualitas. Namun, akhir-akhir ini saya mendengar istilah-istilah baru semisal Kelas Internasional (KI), yang menggambarkan bahwa telah terjadinya dinamika proses pendidikan di almamater penulis. Perkembangan juga terjadi pada proses perekrutan calon siswa, yang mana perekrutannya dilakukan dengan cara melalui beberapa buah tes. Sebagai informasi tambahan, untuk sekolah reguler, perekrutan dilakukan tanpa melalui tes, hanya diseleksi berdasarkan nilai rapor saja.

Tata cara perekrutan melalui serangkaian tes ini yang kemudian dinilai menjadi sebuah celah untuk dapat melakukan praktik kolusi antara pihak calon siswa dengan pihak penyelenggara penerimaan siswa baru. Bila dugaan ini benar, tentu citra dari smandel sendiri akan merosot.  Mengapa? Pertama,  bagi anak-anak yang terkualifikasi secara akademik namun tak “bermodal” akan tergeser haknya oleh anak-anak yang secara akademik tergolong rendah namun berasal dari golongan kaya. Dengan praktik seperti itu, kesempatan bagi seorang siswa berprestasi namun miskin akan kian meredup. Imbasnya, mereka hanya bisa survive di sekolah-sekolah non unggulan. Kedua, kualitas siswa-siswa yang bersekolah di sana pun juga akan menurun, karena ada dari mereka yang diterima dengan cara-cara yang curang. Mungkin dulu smandel boleh berbangga hati karena mencetak banyak lulusan yang berprestasi: lulus Ujian Nasional (UN) seratus persen, diterima di berbagai Perguruan Tinggi bergengsi di Indonesia bahkan di luar negeri, memenangkan berbagai perlombaan hingga olimpiade, menjadi pemimpin-pemimpin besar, macam-macam. Sekarang, apakah prestasi tersebut masih mampu dipertahankan lebih lama lagi oleh Kepala Sekolah beserta jajarannya?

Bangunan-bangunan di smandel boleh saja berdiri dengan megahnya, namun itu takkan berarti bila prestasi sekolah semakin rubuh. Fasilitas-fasilitas di smandel boleh saja istimewa sempurna, namun itu takkan berarti bila tiada peluang bagi anak-anak miskin untuk turut serta merasakannya. Guru-guru di smandel boleh saja berkompeten, tapi apa guna bila yang diajar sekelompok murid nan pongah.

Besar harapan penulis agar smandel tetap terjaga kualitasnya serta selalu diperhitungkan sebagai sekolah yang tak hanya bergengsi, namun juga penuh prestasi. Tidak sampai disitu, smandel wajib membuka peluang yang selebar-lebarnya bagi mereka yang berprestasi untuk mengenyam pendidikan di sana, tanpa harus memandang status sosial ekonominya. Ingat, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Salam.

0 komentar:

Posting Komentar

© TUL[!]S, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena